A. Pendahuluan
Setelah rencana penyatuan (merger)
bank-bank Badan Usaha Milik Negara, kini muncul wacana merger bank
syariah BUMN. Mengenai hal tersebut, Direktur Bank Syariah Mandiri Agus Dwi
Handaya mengatakan baginya setidaknya terdapat empat hal yang perlu
diperhatikan dalam melakukan merger. Pertama merger merupakan
domain PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) selaku pemegang saham dan pemerintah.
Pihaknya mengaku akan mendukung penuh apapun kebijakan yang akan diambil oleh
Bank Mandiri dan pemerintah. Kedua, manajemen BSM saat ini fokus penguatan
fundamental. Kalau fundamental diperbaiki dan kuat, apapun corporate
action lebih mudah".
Selain itu ada juga aspek Sumber Daya Manusia
(SDM) termasuk organisasi, culture bussiness management,
dan pembangunan infrastruktur Teknologi Informasi (IT). "Ketiga posisinya
kita leader di market syariah, Jadi punya kompetensi dan pengalaman di merger dan
akuisisi[1].
Liputan6.com (21/02/2015) dalam headlinenya OJK
Bakal Bantu Pemerintah Gabungkan Bank Syariah memuat bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan
membantu untuk menggabungkan bank-bank syariah. Pasalnya sebagai
negara yang mayoritas penduduknya muslim, Indonesia membutuhkan bank syariah
yang memiliki modal besar. Muliaman D. Hadad, "Kami dukung rencana itu.
Saat ini kita sedang lakukan pembicaraan intensif mengenai bagaimana cara yang
paling efektif untuk merealisasikan merger tersebut."
Dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo
(Jokowi), Muliaman melanjutkan bahwa bank-bank syariah
yang menjadi anak usaha bank konvesional BUMN juga harus mengambil andil dalam
percepatan pembangunan ekonomi. Dengan modal yang besar, bank syariah akan
mampu membiayai proyek-proyek infrastruktur pemerintah sehingga tidak hanya
mengandalkan dari bisnis pinjaman saja. "Yang penting sehat dulu, mampu
melakukan branchles
banking. Ada banyak hal, jadi dengan
begitu penetrasinya lebih bagus," jelasnya.
Sebelumnya, Kementerian BUMN telah
membentuk tim untuk mengkaji rencana penggabungan bank-bank syariah milik bank
BUMN. Namun nampaknya hal itu tidak langsung didukung oleh para pelaku industri
perbankan. Salah satunya PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Manajemen BNI
menilai penggabungan bank-bank syariah
ini belumlah menjadi satu hal yang sangat penting mengingat masih banyak cara
lain untuk memperbesar penetrasi bank syariah di pasar. "Kalau untuk
menghadapi 2020, saya pikir lebih baik mengarah ke strategi partner dari pada
itu, baru setelah itu lakukan IPO," kata Direktur Utama BNI, Gatot M
Suwondo.
Strategi partner yang dimaksudkan Gatot
adalah dengan menggandeng bank-bank negara lain yang penduduknya mayoritas
muslim untuk memasarkan produk-produknya di negara masing-masing. Saat ini BNI
masih menjajaki untuk melakukan kerjasama dengan
beberapa negara Timur Tengah salah satunya Uni Emirat Arab untuk mengembangkan
lini bisnisnya. Namun begitu, Gatot memahami apa yang dimaksudkan pemerintah
untuk memperkuat perbankan syariah di Indonesia bukan satu hal yang buruk.
Hanya saja cara yang ditempuh masih terlalu berisiko untuk saat ini.
"Untuk bank syariah itu semua punya ambisi, ada dua bank
syariah yang
diharapkan besar tapi tidak besar-besar, malah nyungsep, masih ambisi
juga dengan cara digabung, oke lah," ujar Gatot[2].
Dari penjelasan diatas, meskipun OJK
memberikan dukungan terhadap rencana marger bank syariah BUMN, namun OJK juga
memberikan beberapa catatan penting. Dalam media online KOMPAS.com (22/4/2015), rencana penggabungan
atau merger perbankan syariah plat merah mendapatkan beberapa catatan dari
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut Deputi Komisioner
Pengawas Perbankan OJK Mulya E. Siregar, catatan pertama yaitu terkait
sumberdaya manusia di ketiga bank syariah BUMN tersebut. Menurut dia, Bank
Syariah Mandiri, Bank BRI Syariah, dan Bank BNI Syariah memiliki standar human
resources yang tak sama. "Harus ada sinergi
yang stategis diantara bank tersebut, kalau sekarang digabung, repot nanti
membereskannya. Misalnya di human resources masing-masing kan beda-beda (standarnya)".
Catatan kedua yang diberikan OJK
yaitu terkait kesiapan sistem IT ketiga bank tersebut. Menurut Mulya, apabila
sistem IT tak sama, maka akan terjadi permasalahan besar apabila terjadi
merger. "IT
nya juga harus sama standarnya, makanya saya bilang merger ini harus bertahap
gak bisa langsung merger begitu”. Lebih lanjut,
kata Mulya, setelah merencanakan sinergi strategis, baru ketiga bank tersebut
masuk tahap selanjutnya yaitu memikirkan bisnis plan[3].
B. Isu Marger
Bank Syariah BUMN
Langkah pemerintah melakukan penggabungan (merger)
bank-bank syariah milik BUMN dinilai sudah benar. Merger tersebut harus fokus
pada pasar Muslim terbesar, Indonesia. Direktur Keuangan dan Operasi Bank Panin
Syariah Tri Bhakti Irianto mengatakan, Indonesia butuh bank syariah besar
karena populasi Muslim terbesar di sini. Tri Bhakti Irianto mengatakan, "Strategi
pemerintah sudah benar. Persaingan makin ketat, mau tidak mau strategi harus
diubah''. Dengan syarat inklusif, bisa dilakukan oleh bank besar, sementara
bagi bank syariah masih susah. Maka harus dibuat strategi agar bank-bank
syariah yang lebih kecil dari bank konvensional, bisa juga membiayai
sektor-sektor seperti konvensional, belum lagi konvensional juga punya kredit
mikro.
Cabang-cabang syariah baik milik sendiri
maupun yang bersama induk harus lebih banyak. Saat ini kantor gabungan Panin
Syariah dengan induk ada 300 dan milik Panin Syariah sendiri baru 50 kantor. Mengenai
merger bank syariah, Presiden Direktur BNI Syariah Dinno Indiano mengatakan,
masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dibenahi. Jika digabungkan, jumlah
karyawan empat bank syariah milik BUMN mencapai 26 ribu orang yang setara
dengan jumlah karyawan bank nasional besar nomor empat. Sementara aset gabungan
hanya seperempat BNI konvensional dengan CAR 13,8 yang terlalu mepet. "Ini
artinya, memang harus ada kajian penambahan modal kalau merger itu digulirkan.
Tiga poin yang harus ada dalam kajian itu, bentuk merger, tujuan dan komitmen
penambahan modal," ungkap Dinno[4].
Direktur Utama Bank BNI Syariah, Dino
Indiano justru mempertanyakan apakah ini waktu yang tepat untuk merger atau
tidak. "Tapi kan setiap bank itu harus ada dalam economic of scale yang baik, nah pertanyaannya
apakah 4 bank syariah (itu dalam keadaan economic of scale atau
enggak?," Dia menjelaskan, apabila kondisi perbankan syariah tak dalam
puncak performanya, maka merger tak akan maksimal.
Berbagai faktor, juga harus
diperhitungkan misalnya jumlah karyawan dan jumlah asset. "Karena kalau
enggak (economic of
scale) nanti satu (bank) tambah satu (bank) tambah satu (bank)
tambah setengah. katakanlah BTN syariah, jangan-jangan jadinya bukan 3,5 tapi 3
atau 2,5. Tapi kalau dalam keadaan economic of scale bisa 5 atau 6 kan,". Dari
sisi karyawan, Dino menyebut kalau 4 bank syariah BUMN disatukan maka total
pegawai akan mencapai 26.000. Jumlah tersebut sama dengan jumlah karyawan bank
terbesar keempat di Indonesia, yang memiliki aset 4 kali lebih besar dari
gabungan 4 bank BUMN syariah. Jadi artinya pekerjaan rumah terbesar". Menurut Dinno,
setidaknya bank hasil merger ini harus memiliki rasio kecukupan modal (capital
adequacy ratio/CAR) minimal di posisi 15
persen. Namun, apabila merger dilakukan saat ini maka CAR-nya hanya sakitar
13,8 persen. Di BNI Syariah sendiri, sepanjang tahun kemarin BNI Syariah membukukan
pertumbuhan laba sebesar 38,98 persen secara year on year (YoY) menjadi Rp 163,25 miliar.
Dengan kinerja tersebut, pada
tahun lalu, perseroan berhasil menjaga kualitas aset dengan posisi non performing finance (NPF) sebesar 1,86 persen.
Sementara itu, pembiayaan BNI Syariah terpantau tumbuh 33,79 persen (YoY),
sedangkan dana pihak ketiga pun naik sebesar 41,42 persen (YoY)[5].
Pengamat ekonomi syariah dari Karim Consulting Indonesia, Adiwarman A Karim, menilai saat ini belum tepat dilakukannya pengabungan
atau merger Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Syariah. Hal ini, dengan
mengacu total aset yang dimiliki masing-masing bank masih terbilang kecil. Dalam media online Republika.co.id (04/05/2015)[6],
Adiwarman Karim mengemukakan pendapatnya:
Pemikiran untuk melakukan merger di antara bank-bank syariah milik BUMN
kembali mengemuka. Keinginan memiliki bank syariah BUMN yang besar, kuat, dan
efisien menjadi alasan utama, apalagi menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN
yang semakin dekat. Keberhasilan merger beberapa bank BUMN sebelumnya yang
menghadirkan sebuah bank yang besar, kuat, dan efisien menambah besar dorongan
untuk mengulangi keberhasilan yang sama di antara bank-bank syariah. Beberapa
keberhasilan merger bank-bank swasta yang juga kemudian menghadirkan bank yang
besar, kuat, dan efisien menambah keyakinan kebaikan dan manfaat merger bank
syariah.
Namun, keberhasilan merger harus didukung oleh banyak faktor yang meliputi
strategi konsolidasi, waktu konsolidasi, biaya konsolidasi, dan yang paling
penting kejelian dalam analisis kesiapan bank yang akan dimerger. Kimie Harada
dan Takatoshi Ito, masing-masing peneliti Universitas Chuo dan National Bureau
of Economic Research AS, dalam kajian mereka, "Did Mergers Help
Japanase Mega-Banks Avoid Failure?" menggunakan ukuran distance to
default untuk mengukur peningkatan efisiensi pada bank hasil merger. Ada
dua temuan penting mereka. Pertama, merger di antara bank-bank yang lemah hanya
akan menghasilkan bank yang lemah pula. Kedua, dalam beberapa bank hasil
merger, distance to default malah memburuk.
Judith Montorial-Garriga, peneliti Bank Sentral AS di Boston, dalam kajian
bersama dengan European Central Bank, "Bank Mergers and Lending
Relationships", menemukan bahwa nasabah-nasabah peminjam berskala kecil
akan terabaikan dalam proses merger. Secara keseluruhan, efisiensi terasa dalam
penurunan tingkat suku bunga bank hasil merger.
Charles Calomiris dan Jason Karceski, masing-masing profesor ekonomi
Universitas Columbia dan guru besar keuangan Universitas Florida, dalam kajian
mereka bersama National Bureau of Economic Research, "Is the Bank
Merger Wave of the 1990s Efficient?" menemukan empat hal penting dalam
sembilan kasus merger bank di AS.
Pertama, secara keseluruhan, proses merger menciptakan nilai tambah bagi
industri perbankan. Kedua, beberapa bank hasil merger mengalami kegagalan
akibat penurunan drastis pendapatan selama proses konsolidasi. Ketiga, perilaku
manajemen bank yang akan dimerger menimbulkan kenaikan biaya yang tidak perlu.
Menaikkan gaji dan pangkat sebelum merger agar mendapatkan posisi yang lebih
baik setelah merger merupakan salah satu fenomena yang terjadi. Keempat,
sinergi pendapatan terwujud walaupun tidak ada efisiensi biaya.
Jith Jayaratne dan Philip Strahan, masing-masing peneliti Compass Lexecon
dan peneliti National Bureau of National Economic, dalam kajian mereka, "The
Benefits of Branching Deregulation", menjelaskan, peningkatan
efisiensi akibat aturan yang membolehkan ekspansi cabang bank. Namun, bank
hasil merger yang memiliki cabang dengan lokasi tumpang tindih merupakan
tantangan yang tidak mudah.
Keberhasilan merger bank di Indonesia di masa lalu, misalnya, didukung oleh
kesabaran dan komitmen penuh pemegang saham dalam proses konsolidasi yang luar
biasa.
1.
Kredit macet dalam jumlah yang signifikan dibersihkan dan ditangani lebih
lanjut oleh BPPN. Hal ini sangat penting agar konsentrasi manajemen terfokus
pada upaya konsolidasi proses merger dan tidak terganggu dengan beban masalah
kredit macet.
2. Sejumlah besar surat berharga obligasi disuntikkan untuk memperkuat modal
bank yang memberikan arus pendapatan selama proses konsolidasi berlangsung. Hal
ini juga sangat penting untuk memberikan ketenangan kepastian pendapatan dengan
risiko sangat kecil mendekati nihil.
3.
Sejumlah besar dana disediakan untuk memberhentikan kelebihan karyawan
akibat proses merger tersebut.
4.
Inefisiensi akibat lokasi cabang yang tumpang tindih ditoleransi sampai
waktu tertentu.
5. Sejumlah besar dana disediakan untuk rebranding, training
ulang, dan pembentukan budaya perusahaan yang baru.
6.
Sejumlah besar dana dialokasikan untuk menyamakan platform sistem
teknologi.
Merger bank-bank syariah milik BUMN akan serta-merta menurunkan laju
pertumbuhan industri perbankan syariah Indonesia selama masa konsolidasi tiga
sampai lima tahun. Padahal, saat ini merupakan saat yang sangat krusial bagi
pertumbuhan laju perbankan syariah di Indonesia untuk mengisi ruang-ruang
potensi pasar sebelum diambil bank milik asing dengan diberlakukannya MEA.
Alternatif lain adalah dengan menyiapkan strategi merger dua tahap. Tahap
pertama selama tiga tahun ini adalah dengan menetapkan target bagi bank
induk untuk membesarkan bank-bank syariah anak perusahaan masing-masing,
mencapai, misalnya, 20 persen dari aset induknya. Tahap kedua adalah
proses merger dan penambahan modal pemerintah atas bank hasil merger tersebut.
Ketika tahap pertama selesai, maka bank-bank syariah milik BUMN tersebut telah
sedemikan kuat dan besar sehingga bank induk pun akan kesulitan memenuhi
kebutuhan modalnya dan modal anak perusahannya. Itulah saat yang tepat untuk
melakukan merger sekaligus penambahan modal pemerintah kepada bank hasil
merger.
Merujuk pada model distance to default yang digunakan Kimie Harada
dan Takatoshi Ito, merger bank yang kuat menghasilkan bank hasil merger yang
kuat pula serta meningkatkan efisiensi operasinya. Pada saat itu, bank syariah
Indonesia bukan saja menjadi tuan di rumah di negeri sendiri, bahkan juga
menjadi tuan rumah di Asia. Kejelian dalam menyusun strategi merger bank
syariah akan menentukan keberhasilannya. Sayidina Ali RA mengingatkan, “kebaikan
yang tidak terorganisasi akan dikalahkan oleh keburukan yang terorganisasi”.
Diperlukan kesabaran dalam mengembangkan industri keuangan syariah. Ingatlah
kisah Thalut ketika kaum beriman yang jumlahnya sedikit dapat mengalahkan kaum
yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Ingat pula kisah Perang Badar. Allah SWT mengingatkan, "Berapa sering terjadi kaum yang sedikit dapat mengalahkan kaum yang banyak dengan izin Allah, dan Allah bersama orang-orang yang sabar."
Ingat pula kisah Perang Badar. Allah SWT mengingatkan, "Berapa sering terjadi kaum yang sedikit dapat mengalahkan kaum yang banyak dengan izin Allah, dan Allah bersama orang-orang yang sabar."
Wacana pemerintah menggabungkan
atau merger perbankan syariah pelat merah dinilai harus dikaji lebih dalam.
Pasalnya, merger 4 BUMN perbankan yaitu Bank Syariah Mandiri, Bank BRI Syariah,
Bank BNI Syariah, dan BTN Syariah mesti memperhatikan banyak hal.
C. Kesimpulan
Rencana pemerintah untuk melakukan marger
bank Syariah BUMN merupakan langkah yang sangat tepat, mengingat negera
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar didunia. Hal ini
menjadi latar belakang yang mendasar untuk mendirikan bank syariah BUMN di
Indonesia. Pertumbuhan ekonomi dan perkembangan lembaga keuangan syariah
khususnya perbankan syariah cukup baik, meskipun market share perbankan
syariah Indonesia masih berkisar diangka 4%, masih sangat jauh jika
dibandingkan dengan Malaysia yang sudah mencapai angkat 11%.
Langka pemerintah untuk marger bank syariah
BUMN ini tentu akan membantu perbankan syariah dalam menaikkan persentase
market sharenya minimal mencapai angka 20%. Meskipun kendala dan resiko yang
akan dihadapi selama masa awal transisi akan berat, dan tentu akan berdampak ke
ekternal dalam hal ini kondisi perbankan indonesia dari sisi ekonomi makro dan
dampak internal bank itu sendiri, sebagaimana telah dijelaskan diatas. Namun,
langkah-langkah yang ditawarkan oleh Adiwarman diatas, bisa menjadi
pertimbangan pemerintah untuk melakukan tahapan dalam proses margen bank
syariah BUMN ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar