Senin, 08 Juni 2015

Rencana Pemerintah Melakukan Marger Bank Syariah BUMN

Oleh: Yurda Indari, S.E.I

A.  Pendahuluan
Setelah rencana penyatuan (merger) bank-bank Badan Usaha Milik Negara, kini muncul wacana merger bank syariah BUMN. Mengenai hal tersebut, Direktur Bank Syariah Mandiri Agus Dwi Handaya mengatakan baginya setidaknya terdapat empat hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan merger. Pertama merger merupakan domain PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) selaku pemegang saham dan pemerintah. Pihaknya mengaku akan mendukung penuh apapun kebijakan yang akan diambil oleh Bank Mandiri dan pemerintah. Kedua, manajemen BSM saat ini fokus penguatan fundamental. Kalau fundamental diperbaiki dan kuat, apapun corporate action lebih mudah".

Selain itu ada juga aspek Sumber Daya Manusia (SDM) termasuk organisasi, culture bussiness management, dan pembangunan infrastruktur Teknologi Informasi (IT). "Ketiga posisinya kita leader di market syariah, Jadi punya kompetensi dan pengalaman di merger dan akuisisi[1].
Liputan6.com (21/02/2015) dalam headlinenya OJK Bakal Bantu Pemerintah Gabungkan Bank Syariah memuat bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan membantu untuk menggabungkan bank-bank syariah. Pasalnya sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, Indonesia membutuhkan bank syariah yang memiliki modal besar. Muliaman D. Hadad, "Kami dukung rencana itu. Saat ini kita sedang lakukan pembicaraan intensif mengenai bagaimana cara yang paling efektif untuk merealisasikan merger tersebut."
Dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Muliaman melanjutkan bahwa bank-bank syariah yang menjadi anak usaha bank konvesional BUMN juga harus mengambil andil dalam percepatan pembangunan ekonomi. Dengan modal yang besar, bank syariah akan mampu membiayai proyek-proyek infrastruktur pemerintah sehingga tidak hanya mengandalkan dari bisnis pinjaman saja. "Yang penting sehat dulu, mampu melakukan branchles banking. Ada banyak hal, jadi dengan begitu penetrasinya lebih bagus," jelasnya.
Sebelumnya, Kementerian BUMN telah membentuk tim untuk mengkaji rencana penggabungan bank-bank syariah milik bank BUMN. Namun nampaknya hal itu tidak langsung didukung oleh para pelaku industri perbankan. Salah satunya PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Manajemen BNI menilai penggabungan bank-bank syariah ini belumlah menjadi satu hal yang sangat penting mengingat masih banyak cara lain untuk memperbesar penetrasi bank syariah di pasar. "Kalau untuk menghadapi 2020, saya pikir lebih baik mengarah ke strategi partner dari pada itu, baru setelah itu lakukan IPO," kata Direktur Utama BNI, Gatot M Suwondo.
Strategi partner yang dimaksudkan Gatot adalah dengan menggandeng bank-bank negara lain yang penduduknya mayoritas muslim untuk memasarkan produk-produknya di negara masing-masing. Saat ini BNI masih menjajaki untuk melakukan kerjasama dengan beberapa negara Timur Tengah salah satunya Uni Emirat Arab untuk mengembangkan lini bisnisnya. Namun begitu, Gatot memahami apa yang dimaksudkan pemerintah untuk memperkuat perbankan syariah di Indonesia bukan satu hal yang buruk. Hanya saja cara yang ditempuh masih terlalu berisiko untuk saat ini. "Untuk bank syariah itu semua punya ambisi, ada dua bank syariah yang diharapkan besar tapi tidak besar-besar, malah nyungsep, masih ambisi juga dengan cara digabung, oke lah," ujar Gatot[2].
Dari penjelasan diatas, meskipun OJK memberikan dukungan terhadap rencana marger bank syariah BUMN, namun OJK juga memberikan beberapa catatan penting. Dalam media online KOMPAS.com (22/4/2015), rencana penggabungan atau merger perbankan syariah plat merah mendapatkan beberapa catatan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut Deputi Komisioner Pengawas Perbankan OJK Mulya E. Siregar, catatan pertama yaitu terkait sumberdaya manusia di ketiga bank syariah BUMN tersebut. Menurut dia, Bank Syariah Mandiri, Bank BRI Syariah, dan Bank BNI Syariah memiliki standar human resources yang tak sama.  "Harus ada sinergi yang stategis diantara bank tersebut, kalau sekarang digabung, repot nanti membereskannya. Misalnya di human resources masing-masing kan beda-beda (standarnya)".
Catatan kedua yang diberikan OJK yaitu terkait kesiapan sistem IT ketiga bank tersebut. Menurut Mulya, apabila sistem IT tak sama, maka akan terjadi permasalahan besar apabila terjadi merger. "IT nya juga harus sama standarnya, makanya saya bilang merger ini harus bertahap gak bisa langsung merger begitu”. Lebih lanjut, kata Mulya, setelah merencanakan sinergi strategis, baru ketiga bank tersebut masuk tahap selanjutnya yaitu memikirkan bisnis plan[3].

B.  Isu Marger Bank Syariah BUMN
Langkah pemerintah melakukan penggabungan (merger) bank-bank syariah milik BUMN dinilai sudah benar. Merger tersebut harus fokus pada pasar Muslim terbesar, Indonesia. Direktur Keuangan dan Operasi Bank Panin Syariah Tri Bhakti Irianto mengatakan, Indonesia butuh bank syariah besar karena populasi Muslim terbesar di sini. Tri Bhakti Irianto mengatakan, "Strategi pemerintah sudah benar. Persaingan makin ketat, mau tidak mau strategi harus diubah''. Dengan syarat inklusif, bisa dilakukan oleh bank besar, sementara bagi bank syariah masih susah. Maka harus dibuat strategi agar bank-bank syariah yang lebih kecil dari bank konvensional, bisa juga membiayai sektor-sektor seperti konvensional, belum lagi konvensional juga punya kredit mikro.
Cabang-cabang syariah baik milik sendiri maupun yang bersama induk harus lebih banyak. Saat ini kantor gabungan Panin Syariah dengan induk ada 300 dan milik Panin Syariah sendiri baru 50 kantor. Mengenai merger bank syariah, Presiden Direktur BNI Syariah Dinno Indiano mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dibenahi. Jika digabungkan, jumlah karyawan empat bank syariah milik BUMN mencapai 26 ribu orang yang setara dengan jumlah karyawan bank nasional besar nomor empat. Sementara aset gabungan hanya seperempat BNI konvensional dengan CAR 13,8 yang terlalu mepet. "Ini artinya, memang harus ada kajian penambahan modal kalau merger itu digulirkan. Tiga poin yang harus ada dalam kajian itu, bentuk merger, tujuan dan komitmen penambahan modal," ungkap Dinno[4].
Direktur Utama Bank BNI Syariah, Dino Indiano justru mempertanyakan apakah ini waktu yang tepat untuk merger atau tidak. "Tapi kan setiap bank itu harus ada dalam economic of scale yang baik, nah pertanyaannya apakah 4 bank syariah (itu dalam keadaan economic of scale atau enggak?," Dia menjelaskan, apabila kondisi perbankan syariah tak dalam puncak performanya, maka merger tak akan maksimal.
Berbagai faktor, juga harus diperhitungkan misalnya jumlah karyawan dan jumlah asset. "Karena kalau enggak (economic of scale) nanti satu (bank) tambah satu (bank) tambah satu (bank) tambah setengah. katakanlah BTN syariah, jangan-jangan jadinya bukan 3,5 tapi 3 atau 2,5. Tapi kalau dalam keadaan economic of scale bisa 5 atau 6 kan,". Dari sisi karyawan, Dino menyebut kalau 4 bank syariah BUMN disatukan maka total pegawai akan mencapai 26.000. Jumlah tersebut sama dengan jumlah karyawan bank terbesar keempat di Indonesia, yang memiliki aset 4 kali lebih besar dari gabungan 4 bank BUMN syariah. Jadi artinya pekerjaan rumah terbesar". Menurut Dinno, setidaknya bank hasil merger ini harus memiliki rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) minimal di posisi 15 persen. Namun, apabila merger dilakukan saat ini maka CAR-nya hanya sakitar 13,8 persen. Di BNI Syariah sendiri, sepanjang tahun kemarin BNI Syariah membukukan pertumbuhan laba sebesar 38,98 persen secara year on year (YoY) menjadi Rp 163,25 miliar.
Dengan kinerja tersebut, pada tahun lalu, perseroan berhasil menjaga kualitas aset dengan posisi non performing finance (NPF) sebesar 1,86 persen. Sementara itu, pembiayaan BNI Syariah terpantau tumbuh 33,79 persen (YoY), sedangkan dana pihak ketiga pun naik sebesar 41,42 persen (YoY)[5].
Pengamat ekonomi syariah dari Karim Consulting Indonesia, Adiwarman A Karim, menilai saat ini belum tepat dilakukannya pengabungan atau merger Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Syariah. Hal ini, dengan mengacu total aset yang dimiliki masing-masing bank masih terbilang kecil. Dalam media online Republika.co.id (04/05/2015)[6], Adiwarman Karim mengemukakan pendapatnya:
Pemikiran untuk melakukan merger di antara bank-bank syariah milik BUMN kembali mengemuka. Keinginan memiliki bank syariah BUMN yang besar, kuat, dan efisien menjadi alasan utama, apalagi menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN yang semakin dekat. Keberhasilan merger beberapa bank BUMN sebelumnya yang menghadirkan sebuah bank yang besar, kuat, dan efisien menambah besar dorongan untuk mengulangi keberhasilan yang sama di antara bank-bank syariah. Beberapa keberhasilan merger bank-bank swasta yang juga kemudian menghadirkan bank yang besar, kuat, dan efisien menambah keyakinan kebaikan dan manfaat merger bank syariah.
Namun, keberhasilan merger harus didukung oleh banyak faktor yang meliputi strategi konsolidasi, waktu konsolidasi, biaya konsolidasi, dan yang paling penting kejelian dalam analisis kesiapan bank yang akan dimerger. Kimie Harada dan Takatoshi Ito, masing-masing peneliti Universitas Chuo dan National Bureau of Economic Research AS, dalam kajian mereka, "Did Mergers Help Japanase Mega-Banks Avoid Failure?" menggunakan ukuran distance to default untuk mengukur peningkatan efisiensi pada bank hasil merger. Ada dua temuan penting mereka. Pertama, merger di antara bank-bank yang lemah hanya akan menghasilkan bank yang lemah pula. Kedua, dalam beberapa bank hasil merger, distance to default malah memburuk.
Judith Montorial-Garriga, peneliti Bank Sentral AS di Boston, dalam kajian bersama dengan European Central Bank, "Bank Mergers and Lending Relationships", menemukan bahwa nasabah-nasabah peminjam berskala kecil akan terabaikan dalam proses merger. Secara keseluruhan, efisiensi terasa dalam penurunan tingkat suku bunga bank hasil merger.
Charles Calomiris dan Jason Karceski, masing-masing profesor ekonomi Universitas Columbia dan guru besar keuangan Universitas Florida, dalam kajian mereka bersama National Bureau of Economic Research, "Is the Bank Merger Wave of the 1990s Efficient?" menemukan empat hal penting dalam sembilan kasus merger bank di AS.
Pertama, secara keseluruhan, proses merger menciptakan nilai tambah bagi industri perbankan. Kedua, beberapa bank hasil merger mengalami kegagalan akibat penurunan drastis pendapatan selama proses konsolidasi. Ketiga, perilaku manajemen bank yang akan dimerger menimbulkan kenaikan biaya yang tidak perlu. Menaikkan gaji dan pangkat sebelum merger agar mendapatkan posisi yang lebih baik setelah merger merupakan salah satu fenomena yang terjadi. Keempat, sinergi pendapatan terwujud walaupun tidak ada efisiensi biaya.
Jith Jayaratne dan Philip Strahan, masing-masing peneliti Compass Lexecon dan peneliti National Bureau of National Economic, dalam kajian mereka, "The Benefits of Branching Deregulation", menjelaskan, peningkatan efisiensi akibat aturan yang membolehkan ekspansi cabang bank. Namun, bank hasil merger yang memiliki cabang dengan lokasi tumpang tindih merupakan tantangan yang tidak mudah.
Keberhasilan merger bank di Indonesia di masa lalu, misalnya, didukung oleh kesabaran dan komitmen penuh pemegang saham dalam proses konsolidasi yang luar biasa.
1.             Kredit macet dalam jumlah yang signifikan dibersihkan dan ditangani lebih lanjut oleh BPPN. Hal ini sangat penting agar konsentrasi manajemen terfokus pada upaya konsolidasi proses merger dan tidak terganggu dengan beban masalah kredit macet.
2.         Sejumlah besar surat berharga obligasi disuntikkan untuk memperkuat modal bank yang memberikan arus pendapatan selama proses konsolidasi berlangsung. Hal ini juga sangat penting untuk memberikan ketenangan kepastian pendapatan dengan risiko sangat kecil mendekati nihil.
3.             Sejumlah besar dana disediakan untuk memberhentikan kelebihan karyawan akibat proses merger tersebut.
4.             Inefisiensi akibat lokasi cabang yang tumpang tindih ditoleransi sampai waktu tertentu.
5.     Sejumlah besar dana disediakan untuk rebranding, training ulang, dan pembentukan budaya perusahaan yang baru.
6.             Sejumlah besar dana dialokasikan untuk menyamakan platform sistem teknologi.
Merger bank-bank syariah milik BUMN akan serta-merta menurunkan laju pertumbuhan industri perbankan syariah Indonesia selama masa konsolidasi tiga sampai lima tahun. Padahal, saat ini merupakan saat yang sangat krusial bagi pertumbuhan laju perbankan syariah di Indonesia untuk mengisi ruang-ruang potensi pasar sebelum diambil bank milik asing dengan diberlakukannya MEA.
Alternatif lain adalah dengan menyiapkan strategi merger dua tahap. Tahap pertama selama tiga tahun ini adalah dengan menetapkan target bagi bank induk untuk membesarkan bank-bank syariah anak perusahaan masing-masing, mencapai, misalnya, 20 persen dari aset induknya. Tahap kedua adalah proses merger dan penambahan modal pemerintah atas bank hasil merger tersebut. Ketika tahap pertama selesai, maka bank-bank syariah milik BUMN tersebut telah sedemikan kuat dan besar sehingga bank induk pun akan kesulitan memenuhi kebutuhan modalnya dan modal anak perusahannya. Itulah saat yang tepat untuk melakukan merger sekaligus penambahan modal pemerintah kepada bank hasil merger.
Merujuk pada model distance to default yang digunakan Kimie Harada dan Takatoshi Ito, merger bank yang kuat menghasilkan bank hasil merger yang kuat pula serta meningkatkan efisiensi operasinya. Pada saat itu, bank syariah Indonesia bukan saja menjadi tuan di rumah di negeri sendiri, bahkan juga menjadi tuan rumah di Asia. Kejelian dalam menyusun strategi merger bank syariah akan menentukan keberhasilannya. Sayidina Ali RA mengingatkan, “kebaikan yang tidak terorganisasi akan dikalahkan oleh keburukan yang terorganisasi”. Diperlukan kesabaran dalam mengembangkan industri keuangan syariah. Ingatlah kisah Thalut ketika kaum beriman yang jumlahnya sedikit dapat mengalahkan kaum yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Ingat pula kisah Perang Badar. Allah SWT mengingatkan, "Berapa sering terjadi kaum yang sedikit dapat mengalahkan kaum yang banyak dengan izin Allah, dan Allah bersama orang-orang yang sabar." 
Wacana pemerintah menggabungkan atau merger perbankan syariah pelat merah dinilai harus dikaji lebih dalam. Pasalnya, merger 4 BUMN perbankan yaitu Bank Syariah Mandiri, Bank BRI Syariah, Bank BNI Syariah, dan BTN Syariah mesti memperhatikan banyak hal.

C.  Kesimpulan
Rencana pemerintah untuk melakukan marger bank Syariah BUMN merupakan langkah yang sangat tepat, mengingat negera Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar didunia. Hal ini menjadi latar belakang yang mendasar untuk mendirikan bank syariah BUMN di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi dan perkembangan lembaga keuangan syariah khususnya perbankan syariah cukup baik, meskipun market share perbankan syariah Indonesia masih berkisar diangka 4%, masih sangat jauh jika dibandingkan dengan Malaysia yang sudah mencapai angkat 11%.
Langka pemerintah untuk marger bank syariah BUMN ini tentu akan membantu perbankan syariah dalam menaikkan persentase market sharenya minimal mencapai angka 20%. Meskipun kendala dan resiko yang akan dihadapi selama masa awal transisi akan berat, dan tentu akan berdampak ke ekternal dalam hal ini kondisi perbankan indonesia dari sisi ekonomi makro dan dampak internal bank itu sendiri, sebagaimana telah dijelaskan diatas. Namun, langkah-langkah yang ditawarkan oleh Adiwarman diatas, bisa menjadi pertimbangan pemerintah untuk melakukan tahapan dalam proses margen bank syariah BUMN ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar