A. Pendahuluan
Sejak usainya perang dingin pada dekade
1990-an, tata ekonomi dunia mulai berubah dari semula ada dua kubu ekonomi,
yaitu ekonomi komunis dan ekonomi kapitalis, kemudian sebagian besar negara
menganut sistem ekonomi pasar dan hanya beberapa negara yang masih menganut
sistem ekonomi komunis, antara lain Korea Utara dan Kuba. Karakteristik utama
dari negara yang menganut sistem ekonomi pasar tercermin dari adanya Bursa Efek
dan kegiatan ekonomi yang dimiliki serta digerakkan oleh pihak swasta.[1]
Kegagalan sistem
ekonomi kapitalis dan sosialis yang
menerapkan sistem bunga pada pembagian keuntungan dalam pinjaman bank dan transaksi di
pasar modal membuat masyarakat mencari solusi yang lebih aman dan lebih kuat bertahan saat terjadi krisis
keuangan global.
Seiring tumbuh dan berkembangnya sistem ekonomi Islam, dunia
perbankan dan pasar modal Syariah pun hadir menawarkan sistem transaksi yang
halal dan juga memberikan kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki perbankan dan
pasar modal konvensional.
Secara historis, perdebatan mengenai penerapan asas-asas islam dalam bidang
perniagaan mulai mencuat pada tahun 1950, yang kenyataannya tidak terjadi
dikebanyakan wilayah Timur tengah, tetapi justru di Pakistan. Dalam UUD Negara
Pakistan telah disisipkan pasal yang melarang pemungutan bunga yang
diidentifikasikan dengan riba. Meskipun Pakistan sempat gagal dalam melarang
bunga dan riba secara rasional, namun negeri ini tercatat sebagai negeri islam
pertama yang pada akhirnya pada tahun 1950-an mendirikan bank lokal bebas bunga
disebuah pedesaan. Setelah berjalan kurang lebih dari sepuluh tahun, bank ini
pun pada akhirnya harus gulung tikar di awal tahun 1960-an meskipun demikian
berbagai hutang yang menjadi tanggungannya telah dapat diselesaikan dengan
baik.[2]
Dalam perkembangannya, islamisasi sistem perbankan di Pakistan mendapat
momentum yang kuat di akhir tahun 1970-an. Sebuah dewan ideologi Isal, A
council of Islamic ideology, telah direncanakan sejak September 1977
bersama dengan kelompok yang sepaham dan sependirian. Kemudian sistem perbankan
islam di Pakistan secara nasional diresmikan pada bulan Februari 1979. Pada
tahun 1979 berdirilah empat lembaga kuangan islam, yaitu House Building
Finance Corporation, Investment Corporation of Pakistan, National Investment
Trust and Bunkers Equity Limited. Yang mendirikan fasilitas pendanaan
berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Pada bulan Juni 1989, The State bank of Pakistan mulai menggunakan prinsip bagi hasil (Mudharabah/profit
sharing) dan menaikkan harga yang melibatkan badan pemerintahan.
Ketika
eksperimen bank bebas bunga di Pakistan mengalami kemunduran pada tahun 1956,
Mesir justru melakukan eksperimen baru dengan mendirikan Mit Ghamr
Local Saving Bankyang dicetuskan oleh Ahmad Al- NAggar. Dengan eksperimen
ini sepeti di pakistan Mesir pun mencatat sejarah baru sebagai negara Timur-Tengah
pertama yang mendirikan bank Islam.
Belahan
negara islam lain yang melakukan islamisasi sistem perbankan adalah Iran pada
tahun 1985 dan Sudan pada tahun 1977, Faisal
Islamic Bank of Sudan (FIBS) didirikan oleh Dewan Rakyat Nasional Sudan.
Selanjutnya, lebih dari lima bank islam pun telah dibangun di Sudan.
Sistem
perbankan syariah berkembang pula diberbagai kawasan Asia Tenggara, salah
satunya negara Malaysia. Malaysia dikenal sebagai pioner utama pembangunan sistem
perbankan islam. Bahkan sampai saat ini perbankan syariah di Malaysia
disebut-sebut sebagai perbankan syariah paling progresif dibandingkan
negara-negara lain di Asia tenggara.
Terhitung
sejak tahun 1970-an, Negeri Jiran Malaysia mulai menerapkan sistem perekonomian
yang dilakukan oleh Empat Macan Asia Singapura, Taiwan, Hongkong dan Korea
Selatan yakni dengan merubah komitmen ekonomi dari yang tadinya berbasis pada
pertambangan dan pertanian beralih menjadi perekonomian yang mengandalkan
sektor manufaktur. Ketika Jepang mulai menanamkan investasinya, maka
industri-industri berat mulai dicoba yang karenanya menjadi ekspor Malaysia
menjadi mesin pertumbuhan utamanya.
Malaysia
pun kemudian menerima lebih dari 70% pertumbuhan PDB dengan tingkat inflasi
yang rendah. Secara fundamental, pertumbuhan Malaysia tersebut sangat
bergantung pada ekspor bahan elektronik semacam chip komputer dan lainnya. Keadaan demikian, kemudian membuat
Malaysia merasa berat ketika krisis ekonomi tahun 1998 melanda. Disamping itu,
kemerosotan dalam sektor teknologi informasi terjadi pada tahun 2001.
Pemerintahan
Malaysia pernah mengupayakan untuk mengurangi angka kemiskinan dengan kebijakan
yang cukup kontroversial yang disebutnya Kebijakan Ekonomi Baru Malaysia (NEP). Goal utamanya yang ingin dicapai ialah
menghilangkan keterkaitan ras dengan fungsi ekonomi, dan lima tahun pertama
mulai mengimplementasikan NEP sebagai Rencana Malaysia Kedua. Pro dan kontra
tentang NEP ini terus bermunculan sekalipun program tersebut kemudian
dihapuskan pada tahun 1990-an.
Malaysia
memiliki keunggulan ekonomi yakni sejumlah elemen makroekonominya stabil, tingkat
inflasi dan pengangguran tetap bertahan dibawah angka 3%, utang luar negeri
yang rendah, serta simpanan pertukaran asing yang sehat. Keadaan seperti itu
tentu memungkinkan Malaysia mampu terhindar dari krisis yang sama pada tahun
1998 silam. Meski demikian, untuk prospek jangka panjangnya nampak kurang baik
akibat kurangnya perubahan dalam sektor badan hukum yang berurusan dengan utang
korporat yang tinggi dan kompetitif.
Malaysia
pernah diingatkan oleh Direktur London
School of Economics Howard J. Davies bahwa kalau ingin pasar modalnya
fleksibel lagi, maka tiada cara lain supaya para pejabat di negara tersebut
mencabut larangan penjualan singkat. Peringatan tersebut kemudian diikuti oleh
kebijakan mencabut larangan penjualan singat sehingga kini Malaysia dipandang
sebagai negara industri baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar