Oleh: Yurda Indari
D. Efisiensi dan Keadilan Alokasi Pendapatan
Efisiensi alokasi hanya menjelaskan bahwa bila semua
sumber daya yang ada habis teralokasi, maka alokasi yang efisien tercapai.
Tetapi tidak mengatakan apa pun perihal apakah
alokasi tersebut adil. Para ekonom konvensional yang dikutip oleh berbeda
pendapat tentang distribusi yang adil[1]:
1. Konsep Egalitarian:
setiap orang dalam kelompok masyarakat menerima barang sejumlah yang sama
2.
Konsep Rawlsian:
maksimalkan utility orang paling miskin (the least well
off person)
3. Konsep Utilitarian:
maksimalkan total utility dari setiap orang dalam kelompok masyarakat
4. Konsep Market
Oriented: hasil pertukaran melalui mekanisme pasar adalah yang paling adil
Dalam konsep ekonomi Islam, adil adalah "tidak menzalami dan tidak dizalimi".
(QS. Al-Baqarah [2]: 280). Menurut Robert H. Frank dalam Karim bahwa bisa jadi "sama rasa sama rata"
tidak adil dalam pandangan Islam karena tidak memberikan
insentif bagi orang yang bekerja keras. Bisa jadi "you get what you deserve" tidak adil dalam pandangan Islam karena orang yang endowment-nya tinggi mempunyai posisi tawar yang
lebih kuat daripada yang endowment-nya kecil sehingga yang kuat dapat menzalimi yang
lemah[2].
Misalnya Umar ibn Khattab r.a. menetapkan tarif kharaj (per jarib lahan) yang berbeda
untuk lahan yang ditanami tanaman yang berbeda: untuk lahan yang ditanami gandum tarifnya
satu dirham ditambah satu qafiz;
untuk buah-buahan tarifnya sepuluh dirham, untuk lada tarifnya lima dirham. Begitu pula dalam
pembagian harta Baitul Maal, Umar r.a. mengatur
tunjangan per tahun keluarga Rasulullah Saw. Abbas ibn Abdul Mutablib mendapat 12.000 dirham,
istri-istri Rasulullah 12.000 dirham, Safiyah ibn Abdul Mutalib 6000 dirham, Ali, Hasan, Husein,
mujahid Badar masing-masing
5000 dirham, kaum Anshar mujahid Uhud dan muhajirin ke Abisina masing-masing 4000 dirham, yatim ahli Badar 2000 dirham,
dan seterusnya sampai seorang gembala di gurun Sinai pun mendapat bagiannya. Dengan perubahan
kondisi sosial ekonomi
masyarakat, Imam Ali r.a. mengubah pengaturan Umar r.a. ini menjadi tunjangan yang sama bagi setiap orang. Apa yang dilakukan
oleh Umar r.a. adalah untuk keadilan, dan apa yang dilakukan oleh Imam Ali r.a. adalah untuk
keadilan. Dalam konsep
Islam, bukan "sama rata sama rasa" yang penting, bukan pula "you
get what you
deserve" yang
penting, tetapi yang penting adalah tidak ada yang dizalimi dan tidak ada yang menzalimi[3].
Penjelasan lebih lanjut bahwa lebih dari sekadar
efisiensi dan keadilan, konsep ekonomi Islam juga mendorong pada upaya membesarkan endowment (meningkatkan production
possibility frontier) atau dalam konteks ini
membesarkan Edgeworth Box[4]. Berkutat pada distribusi yang berkeadilan saja berarti
suatu zero sum game. Misalnya utility Jono naik 5, utility Kirun
turun 5, kenaikan total utility nihil. Oleh karena itu, konsep Islam
adalah mendorong terjadinya
positive sum game. Misalnya utility Jono naik 5, utility Kirun
naik 5, kenaikan total utility 10.
Jadi bukan hanya mempersoalkan bagaimana "kue" akan dibagi secara dil, namun juga bagaimana "kue" yang
akan dibagi bertambah besar.
B. Dampak Distribusi Pendapatan Dalam Islam
Menurut Sudarsono dalam Anwar, distribusi pendapatan
merupakan bagian yang penting dalam membentuk kesejahteran. Dampak dari
distribusi pendapatan bukan saja pada aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial
dan politik. Oleh karena itu Islam memberi perhatian lebih terhadap
distribusi pendapatan dalam masyarakat. Maka Islam memperhatikan
berbagai sisi dari perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya,
misalnya dalam jual-beli, hutang piutang, dan sebagainya. Dampak
yang ditimbulkan dari distribusi pendapatan yang didasarkan
atas konsep Islam[5];
1.
Dalam konsep Islam perilaku distribusi pendapatan
masyarakat merupakan bagian dan bentuk proses kesadaran masyarakat dalam mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, distribusi dalam Islam akan menciptakan kehidupan yang saling menghargai dan menghormati antara satu dengan yang lain, karena antara satu dengan yang lain tidak akan sempurna eksistensinya sebagai manusia jika tidak ada yang lain. Tidak ada upaya untuk membatasi optimalisasi distribusi pendapatan di dalam masyarakat dengan perbuatan-perbuatan tercela, manipulasi, korupsi, spekulasi, dan sebagainya sehingga tirnbul ketakutan, ketidakpercayaan, dan kecurigaan antara satu dengan yang lainnya.
2.
Seorang muslim akan menghindari praktek distribusi yang menggunakan barang-barang yang merusak masyarakat, misalnya rninuman keras, abet terlarang, pembajakan, dan sebagainya sebagai media distribusi. Dalam Islam distribusi tidak hanya
didasarkan optimalisasi dampak barang tersebut terhadap kemampuan orang tetapi pengaruh barang tersebut terhadap perilaku masyarakat yang mengkonsumsinya.
3.
Negara bertanggung jawab terhadap
rnekanisme distribusi dengan mengedepankan
kepentingan umum daripada kepentingan
kelompok, atau golongan apalagi perorangan. Oleh karena itu, sektor publik yang digunakan untuk kemaslahatan
umat jangan sampai jatuh di tangan
orang yang mernpunyai visi kepentingan
kelompok, golongan dan kepentingan pribadi.
Negara mernpunyai tanggung javvab untuk menyediakan
fasilitas publik, yang berhubungan dengan masalah optimalisasi
distribusi pendapatan, seperti; sekolah, rumah sakit, lapangan kerja,
perumahan, jalan, jembatan dan sebagainya. Sarana
tersebut sebagai bentuk soft distribution yang digunakan
untuk mengoptimalkan sumber daya yang berkaitan. Misalnya, sekolah
akan mencetak manusia yang pandai sehingga bisa memikirkan yang terbaik dari
keadaan umat manusia, rumah sakit menciptakan orang sehat sehingga bisa bekerja
dengan baik, lapangan kerja mengurangi angka kriminalitas dan ketakutan dan sebagainya.
C. Kesimpulan
Distribusi dalam ekonomi Islam
didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat mendasar dan penting, yaitu:
nilai kebebasan dan nilai keadilan. Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak kekayaan telah memberi amanat kepada manusia untuk mengatur dan mengelola
kekayaan disertai kewenangan untuk memiliki kekayaan tersebut.
Peran
negara dalam distribusi pendapatan adalah berupaya untuk menegakkan kewajiban
dan, keharusan mencegah terjadinya hal-hal yang diharamkan khususnya dosa besar,
seperti: riba, perampasan hak, pencurian dan kedzaliman kaum kuat
terhadap lemah. Dalam Islam negara berhak menarik pajak dan
disalurkan kembali berupa fasilitas dari pajak dan hanya dalam rangka
tugas pemerintahan. Demikian pula negara dapat mengelola dan menyalurkan
zakat, sehingga dengan demikian negara dapat berperan sebagai
agen yang efektif yang mampu rnenerapkan aturan-aturan dalam al-Qur'an dan al-Hadits serta pedapat ulama yang berhubungan dengan
prinsip-prinsip distribusi pendapatan.
Konsep ekonomi Islam juga mendorong pada upaya membesarkan endowment (meningkatkan production
possibility frontier) atau dalam konteks ini
membesarkan Edgeworth Box.
Bukan hanya mempersoalkan bagaimana "kue" akan
dibagi secara dil, namun juga bagaimana "kue" yang akan
dibagi bertambah besar. Dampak dari distribusi pendapatan bukan saja pada aspek
ekonomi tetapi juga aspek sosial dan politik. Oleh karena itu Islam memberi perhatian lebih terhadap distribusi pendapatan dalam masyarakat
Islam
menekankan keadilan distribusi dan menyertakan dalam sistemnya suatu program
acara untuk pembagian kembali kekayaan dan kemakmuran, sehingga tiap-tiap
individu dijamin dengan suatu standar hidup yang terhormat dan ramah satu sama
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Deky. 2014. Ekonomi Mikro
Islam. Palembang: Noer Fikri Offset.
Karim,
Adiwarman. 2010. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad.
2004. Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPEI-Yogyakarta.
Rivai,
Veithzal. Andi, Buchari. 2009. Islamic
Economics: Ekonomi Syariah bukan opsi, tetapi solusi. Jakarta: PT.Bumi
Aksara.
_______Rahmawari,
Muin. Sistem Distribusi Dalam Persfektif Ekonomi Islam. http://www.uin-alauddin.ac.id/download-2-RAHMAWATI%20MUIN.pdf
_______http://ekonomiduniaislam.blogspot.com/2013/02/distribusi-dalam-ekonomi-islam.html
[1] Karim,
Adiwarman. 2010. Ekonomi Mikro Islami.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hal. 221.
[2] Karim,
Adiwarman. 2010. Ekonomi Mikro Islami...
Hal. 221.
[3] Karim,
Adiwarman. 2010. Ekonomi Mikro Islami...
Hal. 221.
[4] Anwar, Deki.
2014. Ekonomi Mikro Islam... Hal.
248.
[5] Anwar, Deky. 2014. Ekonomi Mikro Islam... Hal. 253.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar