Oleh: Yurda Indari
A. Pendahuluan
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
peradaban Islam dikhususkan dalam pembahasan tertentu. Franz Dahler dan Eka
Budianta dalam Jalaluddin mengungkapkan zaman keemasan Islam sebagai puncak
kedua dalam pengunaan kesadaran rasional yang dicapai oleh kebudayaan Islam
Abad Pertengahan[1].
Dalam sejarah kelahiran ilmu filsafat Islam
dilatarbelakangi oleh adanya usaha penerjemahan naska-naska ilmu filsafat ke
dalam bahasa Arab yang telah dilakukan pada masa klasik Islam. Usaha ini
melahirkan sejumlah filsuf besar Muslim[2].
Puncak perkembangan ilmu pengetahuan Islam sering dihubungkan dengan kejayaan
kekhalifahan Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah. Kedua kekhalifahan ini
dinilai paling besar kontribusinya dalam melahirkan beradaban dunia. Kota yang
paling terkenal sebagai pusat peradaban Islam ini adalah Baghdad, baghdad lebih
dahulu melahirkan filsuf Muslim daripada dunia Islam bagian barat yang berpusat
di Cordoba, Spanyol[3].
Nurcholish Madjid dalam Supriyadi menyatakan bahwa sumber
dan pangkal tolak filsafat dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri, meskipun
memiliki dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, filsafat Islam
banyak mengandung unsur-unsur dari luar, terutama Hellenisme atau dunia
pemikiran Yunani[4].
Meskipun begitu, Aktivitas para filsuf Muslim dalam
menterjemahkan naska filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab didasari pada
penafsiran Al-Quran, kecenderungan menafsirkan Al-Quran secara filosofis sangat
besar. Al-Kindi, yang dikenal sebagai Bapak Filsuf Arab dan Muslim, berpendapat
bahwa untuk memahami Al-Quran dengan benar, isinya harus ditafsirkan secara
rasional, bahkan filosofis[5].
Melalui terjemahan dan karya para ilmuwan Muslim ini,
perkembangan keilmuwan Eropa mulai “mengeliat”. Hal ini terlihat dari banyaknya
buku-buku karya ilmuwan Islam yang mencapai 500.000 buku di perpustakaan
Cordova di Spanyol. Pengaruh ilmuwan Muslim mampu mendobrak pemikiran yang
keliru yang sudah baku, baik yang menyangkut penafsiran fenomena alam maupun
dalam melakukan penalaran[6].
Peradaban Islam dengan dukungan ilmu pengetahuan dan
teknologinya, memang pernah mencapai puncak perkembangannya. Namun kemudian,
revolusi Industri pada awal Abad Modern mejadikan Eropa (Barat) sebagai
“pengemban baru” peradaban dunia, mengantikan peradaban Islam. Peradaban Islam
kehilangan “pamor” seiring dengan proses kegagalnya yang dialami dunia Islam.
Proses keruntuhan peradaban Islam berlangsung cukup lama, hingga berakhir pada
kekuasaan politik. Di lingkungan kekhalifahan Abbasiyah faktor pemicunya
terjadi karna sistem pemerintahan yang berpusat di tangan khalifah. Penerus
kekhalifahan yang semakian melemah sehingga mereka tidak memiliki kekuasaan[7].
Dari latar belakang diatas menunjukkan bahwa perkembangan
filsafat Islam dimulai dari usaha ilmuwan Muslim dengan melakukan fenafsiran
Al-Quran secara filosofis. Untuk memahami bagaimana ilmuwan Muslim bisa
berkembang dan mengkaji keilmuwan secara Islam, maka ilmuwan harus mengetahu
bagaimana konsep filsafat dalam Islam, apa saja yang menjadi objek filsafat Islam?,
bagaimana tradisi keilmuwan Islam sehingga mampu membangun peradaban Islam yang
pernah berjaya dimasanya?. Semua pertanyaan diatas akan dijelaskan lebih
mendalam dalam makalah ini.
B. Konsep Filsafat Islam
1. Pengertian Filsafat
Secara etimologi kata filsafat dalam bahasa Arab falsafah yang dalam bahasa Inggris
dikenal dengan istilah philisophy,
adalah berasal dari bahasa Yunani philosophia.
Kata philein yang berarti cinta (love) dan sophia yang berartikebijaksanaan (wisdom)Jadi secara bahasa filsafat dapat diartikancinta
kebijaksanaan (love of wisdom)[8].Dalam
Lisan Al-A’rab, kata falsafat berakar dari katafalsafa, yang memiliki arti al-hikmah. Dalam uangkapan Arabnya,
cabang ilmu ini disebut ”ulum al-hikmah”
atau secara singkat al-hikmah yang
artinya kebijaksanaan. Pelaku filsafat disebut failusuf (dari bahasa Yunani) dan dalam bahasa Arab disebut al-hakim
yang berarti ahli hikma atau orang bijak[9].
Secara termonilogi pengertian filsafat atau dalam bahasa
Arab disebut al-hikma diungkapkan
Al-Arabi dalam Supriyadi bahwa kata Al-hikmahbermaknaproses
pencarian hakikat sesuatu dan perbuatan. Pendapat lain dari Ar-raghib dalam
Supriyadi mengugkapkan bahwa hikma
ialah memperoleh kebenaran dengan perantaraan ilmu dan akal. Nurcholish Madjid
mengartikan bahwa hikma itu berartiilmu pengetahuan, filsafat, kebenaran,
bahkan merupakan rahasia Tuhan yang tersembunyi yang hanya bisa diambil manfaat
dan pelajarannya pada masa dan waktu yang lain[10].
Dalam tradisi filsafat, agar sampai pada suatu makna yang
esensi dari suatu hal, seseorang harus melakukan penjelasan secara radikal,
logis dan serius[11].
Sebagaimana Jujun S. Suriaasumantri mengartikan filsafat sebagai suatu cara
berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu
sedalam-dalamnya. Tak satu hal yang bagaimanapun kecilnya terlepas dari
kefalsafahan[12].
Hal inilah yang menyebabkan Aristoteles memberikan komentar “Apabila hendak menjadi filsuf, anda harus
berfilsafat, dan apabila tidak mau menjadi filsuf, anda harus juga berfilsafat[13].
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kata filsafat
sendiri berasal dari bahasa arab yaitu falsafah
yang memiliki arti al-hikmah dan
dalam Islam bidang ilmu yang membahas tentang filsafat disebut dengan istilah al-hikmah yang diartikan sebagai proses
pencarian hakikat kebenaran dengan mengunakan ilmu dan akal dari suatu
perbuatan untuk mengambil manfaat dan pelajaran pada waktu mendatang.Filsafat
diartikan sebagai cara perpikir yang mengakar dan menyeluruh, mengupas segala
sesuatu secara mendalam.
2.
Makna Filsafat Islam
Kajian filsafat Islam sarat dengan muatan teologis dan
historis. Secara historis, tarik-menarik kepentimgan bahwa filsafat itu murni
atau tidak murni dari Islam adalah fakta yang tifak bisa dihindari. Saling
mengklaim antarilmuwan Barat dan Islam menjadi lembaran panjang dalam
perjalanan filsafat. Namun, pada perkembangan selanjutnya, filsafat diakuinya
sebagai bagian dari agama Islam karena memiliki tujuan yang sama, yakni mencari
hakikat kebahagiaan dengan jalan yang benar. Tetapi, ada perbedaan yang
mencolok antara filsafat dalam Islam dengan sejarah filsafat dari Yunani[14].
Pemikiran filsafat banyak dipengaruhi oleh lingkungan.
Namun, pada dasarnya filsafat baik di Barat, India, dan Cina muncul dari yang
sifatnya religius. Di Yunani dengan mitosnya, di India dengan Kitab Wedanya,
dan di Cina dengan Confusiusnya[15].
Sama halnya filsafat Islam yang memiliki sumber utama yaitu dari Al-Quran yang
merupakan wahyu dari Allah. Pada konvensi antar ilmuwan bahwa filsafat Islam
memiliki pengertian tersendiri karena ia memiliki sumber utama, yaitu Al-Quran.Atas
kenyataan ini, beragam definisi pun mengalir dari berbagai tokoh tentang
filsafat Islam.
Ada banyak pendapat terkait dengan pengunaan istilah
filsafat Islam atau filsafat Arab, atau filsafat Muslim, namun yang disepakati
oleh banyak tokoh dengan alasan dan argumentasinya masing-masing maka istilah
yang lebih tepat digunakan adalah Filsafat Islam. Diantaranya Ibrahim Madzakur dalam
Supriyadi berpendapat bahwa Islam bukan hanya akidah atau keyakinan
semata-mata, melainkan juga peradaban dan sikap peradaban mencakup segi-segi
kehidupan moral, material, pemikiran dan perasaan. Jadi filsafat Islam adalah
segala studi filsafat yang dilukis di dalam dunia Islam, baik penulisnya orang Muslim,
Nasrani ataupun Yahudi[16].
Thahir Abdul Muin dalam Supriyadi berpendapat bahwa
pengertian filsafat Islam adalah jembatan yang menghubungkan antara falsafah
kuno dan falsafah pada abad kebangkitan. Selain itu, mengambarkan bahwa Islam
bersifat toleran dan lapang dada sehingga falsafah Yunani kuno dapat bernaung
dan dipelihara oleh umat Islam. Ahmad Azhar Basyir dalam Supriyadi mengartikan
filsafat Islam sebagai cara berpikir secara ilmiah, sistematis dan dapat
dipertanggungjawabkan dan radikal tentang hukum Islam. Pendapat lain yang
dikemukankan oleh Amir Syarifudin dalam Supriyadi penyatakan bahwa pengertian filsafat
Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia dan tujuan Islam, baik yang
menyangkut materinya maupun penetapannya. Dan Ahmad Chotib dalam Supriyadi
menyatakan bahwa filsafat Islam adalah filsafat yang berusaha menangani
pertanyaan-pertanyaan fundamental secara ketat, konsepsional, metodis, koheren,
sistematis, radikal, universal dan komprehensif, rasional serta
bertanggungjawab[17].
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa konsep filsafat
Islam adalah cara berpikir ilmiah untuk memahami hakikat dari ilmu pengetahuan
yang dilakukan secara mendalam sampai keakar-akarnya dengan bersumber pada
Al-Quran dan Hadist.
C. Objek Filsafat Islam
Objek filsafat meliputi segala pengetahuan manusia serta
segala sesuatu yang ingin diketahui manusia. Objek filsafat adalah mencari
keterangan sedalam-dalamnya. Objek filsafat dibagi menjadi dua, yaitu objek
material dan objek formal. Objek material menyelidiki bagian yang abstark dan
objek formal adalah mencari keterangan sedalam-dalamnya tentang objek material
filsafat, yaitu segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada[18].
Menurut Surajiyo objek material adalah suatu bahan yang
menjadi tujuan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu. Pengertian lain
adalah hal yang diselidiki, dipandang, atau disorot oleh suatu disiplin ilmu.
Sedangkan pengertian objek formal adalah sudut pandang yang ditujukan pada
bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana
objek material itu disorot[19].
Endang Saifuddin Anshari dalam Supriyadi menjelaskan
lebih rinci bahwa objek filsafat terdiri dari objek material filsafat dibagi
atas tiga persoalan pokok, yaitu hakikat Tuhan, hakikat alam, dan hakikat
manusia. Sedangkan objek formal filsafat ialah usaha mencari keterangan secara
mendalam sampai ke akarnya tentang tentang objek materi filsafat[20].
Menurut Hamzah Ya’qub dalam Supriyadi[21]
bahwa objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya tentang:
1.
Ada Umum, yaitu menyelidiki apa yang ditinjau secara umum. Dalam
filsafat umum ada umum disebut
“ontologia” atau “ontonos” dari bahasa Yunani yang berarti “ada”. Dalam bahasa
arab digunakan istilah untulujia dan ilmu kainat.
2.
Ada Mutlak, sesuatu yang ada secara mutlak, yaitu zak yang wajib
adanya, tidak bergantung pada apa dan siapapun juga. Ia terus menerus ada
karena adanya dengan pasti. Ia merupakan asal adanya segala sesuatu. Ini
disebut “Tuhan” dalam bahasa arab disebut “Ilah”
atau ”Allah”.
3.
Comologia, yaitu filsafat yang mencari hakikat alam yang
dipelajari, apakah sebenarnya alam dan bagaimanakah hubungannya dengan Ada
Mutlak.
4.
Antropologia, yaitu mempelajari filsafat manusia. Apakah manusia itu
sebenarnya, apakah kemampuan-kemampuannya, apa pendorong tindakannya, semua
disediliki dan dibahas dalam antropologia.
5.
Etika, yaitu filsafat yang memiliki tingkah laku manusia.
6.
Logika, yaitu filsafat akal budi dan biasanya juga disebut mantiq. Akal budi adalah akal yang
terpenting dalam menyelidiki manusia untuk mengetahui kebenaran. Tanpa
kepastian tentang logika, semua penyelidikan tidak mempunyai kekuatan dasar. Filsafat
akal budi ini disebut epistemologi.
Adapun objek filsafat Islam ialah objek kajian filsafat
pada umumnya yaitu realitas, baik yang material maupun yang gaib. Perbedaannya
terletak pada subjek yang mempunyai komitmen
Qur’ani[22].
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kajian
filsafat umum dengan filsafat Islam memiliki banyak persamaan, yaitu
menyelediki tentang apa, bagaimana dan untuk apa, atau yang lebih dikenal
dengan ontologi, epistemologi dan aksiologi, dalam filsafat Islam juga
mempelajari tentang etika dan perilaku manusia, namun perbedaan yang mendasar
diantara keduanya adalah subjek filsafat Islam berlandaskan pada Al-quran.
Dalam tema besarnya, objek filsafat Islam terdiri dari,
Tuhan, Alam, manusia dan kebudayaan. Dalam versi ahli ushul fiqh, objek
filsafat Islam dibagi menjadi dua rumusan, yaitu falsafah tasyri dan falsafat
syariah.
Falsafah tasyri adalah filsafat yang memancarkan hukum Islam atau yang menguatkannya dan
memeliharanya. Pokok pembicaraan filsafat
tasyri adalah hakikat dan tujuan penetapan hukum yang terbagi pada dasar
hukum Islam (Da’aim Al-Ahkam), prinsip-prinsip
hukum Islam (Mabadi’ Al-Ahkam),
pokok-pokok Islam (Ushul Al-Ahkam) atau
sumber-sumber hukum Islam (Mashadir
Al-Ahkam), tujuan-tujuan hukum Islam (Maqashid
Al-Akhkam), dan kaidah-kaidah hukum Islam (Qawa’id Al-Ahkam). Sedangkan falsafah
syariah adalah filsafat yang diungkapkan dari materi-materi hukum Islam
seperti, ibadah, muamalah, jinyah, uqubah dan sebagainya. Pokok pembicaraan
filsafat syariah yaitu tentang hakikat dan rahasia hukum Islam yang terbagi
pada rahasia-rahasia hukum Islam (Asrar
Al-Ahkam), ciri-ciri khas hukum Islam (Khasha
Al-Ahkam), keutamaan hukum Islam (Mahasin
Al-Ahkam), dan karakteristik hukum Islam (Thawabi’ Al-Ahkam)[23].
Lebih jelasnya, C.A. Qadir menyatakan bahwa objek kajian
filsafat Islam dibagi menjadi tiga pokok masalah, yaitu pertama masalah doktirn monoteisme atau ke-Esaan Allah. Semua
filsuf Muslim berpandangan bahwa monoteisme (tauhid) merupakan doktrin sentral dari sistem pemikiran mereka, dan
merupakan doktrin Islam yang spesifik. Kedua
masalah menyangkut kenabian yang mencakup pembahasan mengenai sifat dasar dan
ciri-ciri kesadaran kenabian. Dan ketiga
masalah penyelarasan antara filsafat dan agama. Para filsuf berpendapat bahwa
pada tingkat terakhir hasil pemikiran filsafat tidak mungkin bertentangan
dengan agama karena kedu-duanya bersumber pada hakikat terakhir yang sama. Apabila
ada kontradiksi maka diperlukan penafsiran baru. Apabila kontradiksi tidak
dapat dihilangkan maka ada perbedaan pendapat tentang apakah akal pikiran atau
iman yang harus diutamakan[24].
Dengan demikian, bila ditinjau secara meterial dapat
dikatakan bahwa objek filsafat itu sama dengan objek ilmu pengetahuan, namun
berbeda bila secara formal. Adapun cakupan objek filsafat Islam adalah Tuhan,
alam, dan manusia yang bersumber kepada Al-Quran, Al-Hadist, dan Akal. Namun,
bila dilihat dari pokok masalah, filsafat Islam lebih menekankan pada masalah
doktrin ke-Esaan Allah yang menjadi doktrin sentral para filsufnya, masalah
kenabian dan masalah penyelarasan antara filsafat dan agama yang menyatakan
bahwa pada tingkat terakhir pemikiran filsafat harus selaran dengan agama,
apabila ada kontradiktif diantara keduanya yang menimbulkan perbedaan akal
pemikiran dan iman, maka iman yang diutamakan sebagaimana dijelaskan diatas
bahwa filsafat Islam berlandaskan Al-Quran.
D. Tradisi Keilmuwan dan Peradaban
Islam
Dalam peradaban Islam, bangunan tradisi keilmuwan menjadi
tonggak penopang terbentuknya peradaban. Terbentuknya tradisi keilmuwan itu
terkait langsung dengan nilai-nilai yang terkandung sumber utama ajaran Islam,
yaitu Al-Quran dan Hadist. Tradisi keilmuwan dalam Islam merupakan bagian dari
nilai-nilai ajaran agama. Berangkat dari aktivitas dan pengembangan keilmuwan
itu pula peradaban Islam dibangun. Islam bukan hanya sebatas agama, melainkan
juga sebagai sebuah peradaban. Kedua hubungan ini menjadi kian jelas bila
dilacak ke sumber Al-Quran mengenai cikal bakal peradaban manusia[25].
Secara kronologis peradaban manusia sudah berawal dari
aktifitas manusia melalui prosesi penciptaannya, Adam sebagai manusia sempurna
dalam alam primordial, telah memperoleh anugerah akal budi dari Allah, maka
dengan begitu Adam menyandang tugas sebagai khalifah di buka bumi. Hakikat wujud manusia dalam kehidupan adalah
untuk melaksanakan tugas kekhalifahan: membangun dan mengelolah dunia ini
sesuai dengan kehendak Ilahi, yakni mengabdi kepada Allah[26].
Penciptaan Adam a.s. dengan kemampuan yang dianugerakan
oleh Sang Maha Pencipta, mengisyaratkan tingkat kualitas sumber daya
insani/manusia merupakan faktor penting bagi kehidupan manusia sebagai makhluk
yang berperadaban. Sebagai manusia pertama Adam a.s memperoleh ilmu pengetahuan
melalui pembelajaran langsung dari Allah. Berbeda dengan anak keturunannya, manusia
memperoleh ilmu pengetahuan dengan mempelajariayat-ayat Allah[27].
Proses ini terlukis dalam isyarat wahyu pertama: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Maha Pemurah, yang
mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam (tulis baca). Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya ” (QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5).
Dari rangkaian perintah wahyu ini Rasul Saw. membangun
tradisi keilmuwan sebagai landasan bagi perkembangan peradaban. Fatur Rahman
dalam Jalaluddin melihat bahwa tradisi keilmuwan yang dibangun Rasul Saw. lebih
bertumpuh pada peranan dan prestise guru secara individu. Mayoritas ilmuwan
termsyhur, bahkan hingga akhir abad pertengahan adalah para murid informal dari
guru-guru individual[28].
Pembangunan tradisi keilmuwan dalam Islam tidak dapat
terlepas dari konsep iqro’. Makna iqro’ itu sendiri: telitilah, dalamilah,
ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah,
diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Kandungan perintah iqro’ mengacu kepada usaha yang didukung
oleh potensi yang dimiliki oleh manusia itu sendiri, antara lain (aql). Dalam Al-Quran, aql selalu dalam bentuk kata ”kerja”
bukan kata benda. Hal ini mengisyaratkan hubungan akal dengan aktivitas. Semua
kata-kata yang menggunakan akar kata ‘aql
ini mengacu kepada makna, daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu,
dorongan moral, dan daya untuk mengambil pelajaran, kesimpulan dan hikma. Dalam
bangunan tradisi keilmuwannya, Islam menempatkan hubungan antara wahyu, akal
dan ilmu, pengetahuan. Hal ini menunjukkan, bahwa Islam dan ilmu pengetahuan
tidak terpisahkan.[29]
Paradigma yang bersumber dari nilai-nilai Al-quran inilah
yang menjadikan para ilmuwan Muslim membangun tradisi keilmuwan, dalam
kaitannya dengan membangun sebuah peradaban Islam.
Osman Bakar dalam Jalaluddin menjelaskan bahwa semangat ilmiah para ilmuwan
sarjana Muslim pada kenyataannya mengalir dari kesadaran mereka akan tauhid.
Tidak diragukan, bahwasecara religius dan historis, asal usul perkembangan
semangat ilmiah dalam Islam berbeda dengan asal-usul dan perkembangan yang sama
di Barat. Tidak ada yang lebih baik dalam mengilustrasikan sumber religius
semangat ilmiah dalam Islam ini daripada fakta bahwa semangat ini pertama-tama
terlahir dalam agama[30].
Pernyataan diatas menunjukkan bahwa yang menjadi landasan
ilmuwan Muslim dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan membentuk peradaban Islam
adalah didasarkan pada semangat ke-Tuhanan yang ada dalam diri para ilmuwan.
Keyakinan akan kebenaran Al-Quran menjadi latar belakang berkembangnya ilmu
pengetahuan.
E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dengan
memahami konsep dan makna filsafat Islam yang merupakan cara berpikir ilmiah
untuk memahami hakikat dari ilmu pengetahuan yang dilakukan secara mendalam
sampai keakar-akarnya dengan bersumber pada Al-Quran dan Hadist.
Objek filsafat secara meterial dapat dikatakan bahwa
objek filsafat itu sama dengan objek ilmu pengetahuan, namun berbeda bila
secara formal. Adapun cakupan objek filsafat Islam adalah Tuhan, alam, dan
manusia yang bersumber kepada Al-Quran, Al-Hadist, dan Akal. Namun, bila
dilihat dari pokok masalah, filsafat Islam lebih menekankan pada masalah
doktrin ke-Esaan Allah yang menjadi doktrin sentral para filsufnya, masalah
kenabian dan masalah penyelarasan antara filsafat dan agama yang menyatakan
bahwa pada tingkat terakhir pemikiran filsafat harus selaran dengan agama.
Kemudian yang menjadi landasan ilmuwan Muslim dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan membentuk peradaban Islam adalah didasarkan
pada semangat ke-Tuhanan yang ada dalam diri para ilmuwan. Keyakinan akan
kebenaran Al-Quran menjadi latar belakang berkembangnya ilmu pengetahuan. Hal
ini menjadi landasan awal dalam upaya untuk membangkitkan kembali tradisi keilmuwan
dan peradaban Islam yang sempat berjaya pada masanya.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin. 2014. Filsafat
Ilmu Pengetahuan: filsafat, ilmu pengetahuan, dan peradaban. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
Supriyadi, Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam: Konsep, filsuf dan Ajarannya. Bandung:
CV. Pustaka Setia.
Suriahsumantri, Jujun.S. 2003. Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Kakekat Ilmu.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Surajiyo.
2008. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya
di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
[1] Jalaluddin.
2014. Filsafat Ilmu Pengetahuan:
filsafat, ilmu pengetahuan, dan peradaban. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada. Hal. 245.
[2] Supriyadi,
Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam:
Konsep, filsuf dan Ajarannya. Bandung: CV. Pustaka Setia. Hal. 35, lihat
juga: Jalaluddin. 2014. Filsafat Ilmu
Pengetahuan... Hal. 246
[3] Jalaluddin.
2014. Filsafat Ilmu Pengetahuan...
Hal. 272-273, Lihat juga: Supriyadi, Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam... Hal. 35-36.
[8]Surajiyo.
2008. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya
di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 3
[9]Supriyadi,
Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam...
Hal. 15-16.
[10]Supriyadi,
Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam...
Hal. 17.
[11]Supriyadi,
Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam...
Hal. 18
[12]Suriahsumantri,
Jujun.S. 2003. Ilmu Dalam Perspektif:
Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Kakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. Hal. 4.
[13]Supriyadi,
Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam...
Hal. 18
[14]Lihat:
Supriyadi, Dedi. 2013. Pengantar Filsafat
Islam... Hal. 22-24.
[15]Surajiyo.
2008. Filsafat Ilmu dan... Jakarta:
Bumi Aksara. Hal. 79.
[16]Supriyadi,
Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam...
Hal. 27.
[17]Supriyadi,
Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam...
Hal. 28-29
[20]Supriyadi,
Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam...
Hal. 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar