Kamis, 15 Januari 2015

Karakteristik Sistem Ekonomi Islam Dalam Perspektif Sayyid Mahmud Taleghani

Oleh: Yurda Indari 

A.      Pendahuluan

Pemikiran ekonomi Islam berusia setua Islam itu sendiri. Sepanjang 14 abad sejarah Islam kita menemukan studi yang berkelanjutan tentang isu ekonomi dalam pandangan Islam. Sebagian besar pembahasan isu-isu tersebut terkubur dalam berbagai literature hukum Islam yang tentu saja tidak memberikan perhatian khusus terhadap analisis ekonomi. Sekalipun demikian, terdapat beberapa catatan para cendekiawan muslim yang telah membahas berbagai isu ekonomi tertentu secara panjang, bahkan di antaranya memperlihatkan suatu wawasan analisis ekonomi yang sangat menarik[1].
Perkembangan ekonomi Islam adalah wujud dari upaya menerjemahkan visi Islam rahmatan lil ‘alamin, kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi alam semesta, termasuk manusia di dalamnya. Ekonomi Islam yang ada sekarang, teori dan praktik, adalahhasil nyata dari upaya operasionalisasi bagaimana dan melalui proses apa visi Islam tersebut dapat direalisasikan. Perkembangan ekonomi Islam menjadi salah satu harapan untuk mewujudkan visi Islam tersebut. Hal ini karena ekonomi Islam adalah satu bentuk integral dalam mewadahi, sebagaimana dinyatakan  Masrhal yang dikutif oleh Lukman, dua kekuatan besar yang mempengaruhi kehidupan dunia, yaitu ekonomi dan agama. Terintegrasikannya dua kekuatan ini dalam satu wadah ekonomi Islam adalah merupakan penyatuan kembali bahwa kehidupan ini berhulu dan bermuara pada satu, yaitu Allah SWT (tawhīd). Secara prinsip tauhid adalah menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup atas dasar dan menuju Allah SWT[2].
Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam dari sejak masa nabi sampai sekarang dapat dibagi menjadi 6 tahapan. Tahap Pertama (632-656M), Masa Rasulullah SAW. Tahap Kedua (656-661M), pemikiran ekonomi Islam di Masa Khulafaur Rosyidin. Tahap Ketiga atau Fase Awal (738-1037), Pemikir Ekonomi Islam periode ini diwakili Zayd bin Ali (738M), Abu Hanifa (787 M), Abu Ubayd (838 M), Yahya bin Hambal (855 M), Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948 M), Abu Jafar al Dawudi (1012 M), Mawardi (1058 M), Hasan Al Basri (728 M), Ibn Maskawih (1030 M), Al Kindi (1873 M), dan beberapa tokoh lainya. Tahap Keempat atau Fase Kedua masa klasik (1058-1448 M). Pemikir Ekonomi Islam Periode ini Al Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu Khaldun (1040 M), Al Maqrizi (1441 M) dan beberapa pemikir lainya. Tahap Kelima atau Fase Ketiga (1446-1931 M). Muhammad Iqbal (1938 M), Ibnu Nujaym (1562 M), Ibnu Abidin (1836), Syeh Ahmad Sirhindi (1524M). Dan Tahap Keenam atau Periode Lanjut masa kontemporer (1931 M – Sekarang). Tokoh-tokoh pada masa ini diantaranya Muhammad Abdul Mannan (1938), Muhammad Najatullah Siddiqi (1931 M), Syed Nawad Haider Naqvi (1935), Monzer Kahf, Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad Baqir as Sadr, Umer Chapra dan beberapa tokoh ekonomi Islam lainnya[3].
Pemikiran ekonomi Islam kontemporer ini merupakan buah pikiran dari para ekonom Muslim pada abad ke-20 Masehi. Salah satu tokoh ekonomi kontemporer yang mengemukakan pemikirannya tentang ekonomi Islam adalah Sayyid Mahmud Taleghani. Bagaimana Pemikiran dan karakteristik ekonomi Islam menurut Sayyid Mahmud Taleghani akan dibahas lebih jauh dalam makalah ini.

B.       Biografi
 Mahmud Taleghani dilahirkan di desa Golyard, distrik Taligan, Iran Utara. Ia mendapatkan pendidikan formalnya di Qom, di Madrasah Razaviya dan Fayziya yang terkenal, dan memperoleh sertifikasi kompetensi dalam bidang ijtihad dari para gurunya di sana. Dari Qom ia melanjutkan di Teheran[4].
Sayyid Mahmud Taleghani, adalah seseorang yang berasal dari Iran, dia merupakan salah satu Teolog reformis Muslim dan merupakan salah satu senior Syi’ah Ulama dari Iran. Taleghani adalah seorang pemimpin kontemporer dari revolusi Iran, dan pemimpin syi’ah Iran dalam gerakan perlawanan terhadap pro barat. Ia telah digambarkan sebagai salah satu wakil dari kumpulan ulama syi’ah yang memadukan antara syi’ah dengan marxis, dengan harapan agar dapat bersaing dengan gerakan-gerakan pendukung kaum muda selama tahun 1960-an sampai pada tahun 1970-an. Beliau memiliki pengaruh besar di Iran dengan memberikan pengajaran dan penafsiran ayat-ayat Al Qur’an. Sehingga sebagian besar Revolusioner Muslim adalah Murid-murid nya [5]. 
Dengan dasar yang beliau peroleh dari Masjid Hidayah, ia berupaya memberikan pemahaman yag benar tentang Islam melalui penyegaran penafsiran Al Qur’an, sementara pada waktu yang sama, ia membicarakan isu-isu sosial, politik, dan ekonomi dari perspektif Islam. Secara umum, tulisan-tulisannya mengambarkan pemikiran syiah mainstream, tetapi berbeda dalam hal penerapannya. Dengan mengutip Al-Qur’an, Hadist, ucapan imam syiah dan para mujtahidun terkemuka, pemikiran Taleghani selalu merefleksikan keinginan dan kepercayaannya pada keadilan ekonomi dan kebebasan sosio-ekonomi. Taleghani mengemukan Islam sebagai alternatif, khususnya mengenai kepemilikan dan sistem ekonomi. Taleghani meninggal dunia pada bulan September 1979. Ia senantiasa dikenang sebagai seorang ahli dan pemimpin yang luar biasa, banyak terjadi emosi dan konflik sebelum dan selama pemakaman, dan banyak terjadi perubahan untuk moderasi dan pemikiran progresif dalam revolusi[6].                  C.      Pemikiran Ekonomi 
Manusia mengemban peranan sentral di dalam pemikiran ekonomi Taleghani. Karakter manusia, menurut Taleghani memiliki dua aspek yakni prinsip internal mencakup keinginannya akan harta, dan dorongan eksternal (yang berubah-ubah) disebabkan oleh kondisi lingkungan dan ekonomi. Oleh karena keinginan akan kekayaan merupakan insting alamiah. Maka taleghani menyatakan bahwa ekonomi Islam berhubungan dengan melihat dan menyatakan batas-batas keinginan. Ekonomi Islam meliputi pelatihan etika, penilaian intelektual, serta mencakup ajaran-ajaran agama dan sosial[7].
Taleghani berpendapat bahwa ekonomi Islam memiliki hukum-hukum tetap yang diambil dari sumber-sumber Islam. Ijtihad (hasil studi intelektual independen) merupakan unsur yang amat penting didalam pemikiran Taleghani, dan ia amat menekankan peranan ‘ulama dan mujtahidun (para akhli ijtihad) dalam menemukan solusi bagi isu-isu kontemporer.[8] 
Dengan demikian, etika dan pendidikan serta pelatihan etika yang intensif menjadi amat penting agar dapat diwujudkan keseimbangan antara hasrat berkorban dan hawa nafsu. sehinga manusia dapat mencapai perbaikan materiil maupun spiritual. Didalam kerangka spiritual ini mengenai keberadaan dan tujuan manusia ini, Taleghani menekankan pentingnya peranan intelektualitas di semua aspek upaya manusia, termsuk dalam bidang ekonomi.                                                                    D.      Karakteristik Sistem Ekonomi Islam 
Menurut Taleghani, masalah ekonomi berkisar pada tiga isu besar, yaitu harta dan kepemilikan, kebebasan dan peredaran uang[9]. 
1.    Hak Memiliki Harta 
Ini adalah persoalan yang paling pokok yang dibahas oleh Taleghani. Manusia, sebagai khalifah Allah SWT. Dimuka bumi, diamanahi oleh-Nya untuk mengelola bumi dengan hak untuk memiliki yang terbatas dan tersebut, bersyarat. Pembatasan tersebut, menurut Taleghani, diatur menurut tiga tingkatan yaitu: (a) melalui keimanan dan hati nurani seseorang (tingkat individual), (b) melalui aturan hukum, dan (c) melalui campur tangan pemerintah.
Prinsip dasar mengenai hak milik yang terbatas dan bersyarat mendorong Taleghani merumuskan aturan dasar mengenai kepemilikan.                                                                               a.    Tanah dan sumber daya alam tidak boleh dimiliki oleh siapapun juga (individu maupun masyarakat). Hanya wali kaum Muslimin (imam dan wali-e amr), yang telah memiliki komitmen kepada kesejahteraan publik, yang memiliki hak untuk menyelia[10] bumi dan sumber-sumbernya. Namun tampaknya ia berlawanan dengan pendapatnya sendiri ketika ia menyatakan bahwa “sumber daya alam dalam bentuk aslinya adalah milik publik dan tidak memiliki pemilik khusus baik individu maupun Negara”. Di tempat lain ia sampaikan pendapatnya yang ketiga dengan menyatakan bahwa “tanah dan sumber daya alam lainnya adalah milik publik dan berada di bawah penyeliaan, atau dimiliki oleh, Imam ataupun pemerintah Islam”.
b.    Individu dapat memiliki hak atas tanah dan sumber daya lain secara terbatas atau bersyarat, melalui kerja.
c.    Individu maupun kelompok khusus dalam masyarakat tidak boleh memiliki sumber daya alam (anfal[11] dan fay[12]).
d.   Uang dan mata uang, yang merupakan alat tukar dan standar nilai, tidak boleh beredar hanya disebagaian kecil orang (kaya) saja.
e.    Aset likuid dan kekayaan dikenakan zakat dan khums.
f.     Wali kaum Muslimin (Imam, para pemegang kekuasaan atau wakilnya) mempunyai hak untuk memiliki kekayaan dan mengenakan pajak atas tanah dan sumber daya alam.
g.    Laba dan kekayaan yang diperoleh dengan cara-cara illegal (bunga, judi, lotere) demikian pula harta yang diperoleh dari memperdagangkan barang-barang yang terlarang (haram) atau yang berbahaya, tidak dapat dimiliki.
h.    Anak-anak serta orang gila tidak punya hak memiliki kekayaan atas namanya sendiri.
i.      Islam melarang pengeluaran mubadzir dan yang merugikan.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa konsep harta dan kepemilikan Taleghani bahwa semua tanah dan sumber daya alam adalah kekayaan publik yang diamanakan oleh Allah Swt. Kepada manusia secara keseluruhan. Negara dan individu hanya dapat mempunyai dan menggunakan tanah, tidak memilikinya (perbedaan antara mempunyai dan memilik tidak diterangkan dengan jelas). Peran negara dalam adalah wakil kekalifahan manusia dan diamanahi untuk menyelia penggunaan maupun distribusi hak ‘kepemilikan’ yang terbatas dan bersyarat. Negara dapat memberikan hak ‘kepemilikan’ yang terbatas dan bersyarat itu kepada individu dengan memperhatikan kerja dan pengarapannya. Individu berhak memiliki hasil kerjanya, tetapi Negara dapat membebaninya dengan pajak (zakat, khums, kharaj).                                                  2.    Pengambilan Keputusan dan Alokasi Sumber Peranan Negara 
Negara diamanahi untuk menjamin bahwa keadilan berlangsung disemua bidang kehidupan. Hal ini dilakukan negara dengan memikul tanggung jawab sebagai wali atau penyelia kesejahteran publik. Menurut Taleghani, Negara memiliki kekuasaan untuk membatasi atau mengurangi hak-hak individu dalam menggunakan dan memiliki sesuatu demi menegakkan keadilan dan kesamaan demi kepentingan bersama. Tugas negaralah untuk mengawasi kepentingan para petani (kaum miskin, berkekurangan, dan tertindas) dengan melaksanakan empat terapi sederhana.[13]
a.    Distribusikan tanah yang tak digunakan dan tak digarap, secara geratis, kepad mereka yang mau menggarapnya. Negara harus menyediakan irigrasi, benih, dan pupuk agar memungkinkan para petani ‘memiliki’ tanah itu serta menerima pendapatan dari hasil kerja mereka.
b.    Batasi kepemilikan tanah dan beri petani hak untuk memiliki hasil panen mereka bukan sekedar menjadi pekerja yang baik bagi pemilik tanah.
c.    Jangan lagi member dukungan kepada para tuan tanah feudal yang memeras orang-orang miskin.
d.   Pungut pajak dalam bentuk zakat dan khraj dari produk-produk tertentu dan dari para penggarap, dan belanjakan pajak itu untuk membantu para petani dalam rangka menghidupkan tanah berikutnya.
Taleghani juga berpendapat bahwa negara juga diamanahi untuk menjamin bahwa kesejahteraan publik dan “kemajuan agama, itelektualitas dan ilmu pengetahuan tidak terancam oleh produksi maupun konsumsi barang-barang yang berbahaya (harmful)”. Selain pernyataan yang sifatnya umum ini, Taleghani tidak menyatakan apapun mengenahi produksi barang-barang modal, demikian juga di dalam industri secara keseluruhan. Namun, dengan melihat pandangannya yang lain, kita dapat menganggap bahwa ia ingin melihat negara memainkan peranan yang besar disemua sektor dalam perekonomian.

3.         Pelarangan Riba dan Implementasi Zakat
Selain kepemilikan harta (dan kebebasan), persoalan uang dan peredarannya juga dipandang oleh Taleghani sebagai salah satu masalah sentral dalam ekonomi. Selain pelarangan penimbunan uang, dibahasnya pula masalah riba. Didalam ilmu ekonomi, Taleghani melihat riba sebagai sesuatu “pertambahan harta secara otomatis tanpa adanya produktivitas tenaga kerja (apapun definisinya)”. Definisi ini tidak hanya mencakup bunga uang (seperti yang diperaktikan oleh orang dimasa hidup Nabi Saw.) melainkan juga transaksi yang dibayar dimuka dan transaksi kredit. Secara umum, dapat kita katakan bahwa riba adalah perolehan haram sebagai sesuatu larangan yang dinyatakan secara eksplisit oleh Al-Qur’an, maka riba haruslah di implementasikan didalam sistem ekonomi Islam. Taleghani cenderung menetapkan lingkup yang lebih luas untuk riba, yakni setiap perolehan yang melibatkan eksploitasi. Meskipun demikian, Taleghani tidak membahas pengganti bunga (didalam intermediasi Finansial)[14].
Zakat, bersama-sama dengan khums (seperlima), kharaj (pajak tanah) dan khaffarat (pajak berupa denda), dipandang oleh Taleghani tidak hanya sebagai kewajiban agama, melainkan juga sebagai alat untuk memelihara kerja sama, distribusi yang adil dan untuk memenuhi permintaan publik. Zakat didefinisikan sebagai bagian tetap ‘produk tanah’, binatang piaraan, uang tunai dan mata uang asing serta logam mulia[15].
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa Taleghani menetapkan larangan riba pada cakupan yang lebih luas yakni setiap perolehan yang tidak ada produktifitas tenaga kerja. Dalam hal zakat, Taleghani berpendapat bahwa zakat bukan hanya sebagai kewajiban agama melaikan zakat juga sebagai alat untuk memelihara kerjasama negara dengan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan publik. Namun, pembahasan Taleghani tentang riba dan zakat tidak dibahas secara mendala, bahkan bisa dikatakan sangat ringkas dibandingkan dengan para ahli yang lain.                                                                                                       E.       Distribusi dan Produksi 
               Taleghani tidak membedakan proses distribusi produk (distribusi pasca-produksi) dan produksi dan distribusi sumber daya alam. Bagi Taleghani produksi “tidak terbatas dalam sumber daya alam dan penyiapan produk akhir, (melainkan juga) meliputi semua penggunaan berikutnya serta distribusinya kepada mereka yang membutuhkan”.
              Pembatasan ‘hak kepemilikan’ hanya pada sumber daya alam saja, ternyata memiliki peranan yang amat penting didalam mencapai keadialan ekonomi. Jika kita mulai dengan benar, menurut Taleghani, “masalah ekonomi yang muncul dari hubungan ekonomi akan berkurang banyak”. Ia mencelah sistem kapitalisme yang tidak berupaya memberi penyelesaian yang memuaskan pada masalah distribusi awal. Oleh karena itu melihat semua tanah dan sumber daya alam sebagi pemilik umum, maka menjadi tugas pemerintah untuk mendistribusikannya kepada para individu menurut kemauan mereka bekerja dan menurut kebutuhan mereka. Dengan itu, Taleghani menyatakan bahwa kerja dan kebutuhan merupakan dasar penetapan kepemilikan harta, dan demikian pula, keduanya menjadi dasar bagi hak distributif (distributive rights). Namun demikian, Taleghani dengan cepat menginggatkan kita bahwa hak turunan itu, baginya merupakan ciri khas sistem ekonomi islam, bukan merupakan dasar bagi kepemilikan mutlak. Kepemilikan mutlak hanyalah atas produk hasil kerja saja. Dengan kata lain, orang hanya memiliki ‘buah dari kerjanya sendiri saja’.
Taleghani mengakui tanah, tenaga kerja, modal, dan entrepreneurship sebagai faktor produksi. Setiap faktor produksi berhak mendapat imbalan jika memang berkontribusi didalam proses produksi (bagaimana imbalan itu ditetapkan, tidaklah ia bahas sama sekali). Bahkan ‘makelar’ pun harus pula diberi imbalan. Posisi khusus diberikannya kepada ‘initial agets’, yakni mereka yang pertama kali menggarap sumber daya alam seperti petani dan menyebut mereka itu sebagai ‘pemilik’ asli. Sumber daya alam yang digarap itu ia sebut modal primer, dan para ‘initial agets’ memiliki ‘hak senioritas dan hak untuk menetapkan orang lain (pekerja dan pemilik peralatan) sebagai pengikut mereka’. Menurut Taleghani, jika para ‘initial agets’ memperoleh laba, maka (para pemilik) peralatan dan tenaga kerja umpahan hanya memperoleh imbalan tetap bagi kontribusi mereka.  
                Selain kerja, kebutuhan juga dipandang sebagai dasar resmi bagi distributive rights. Dalam hal ini, Negara bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan kaum miskin baik dengan cara mendistribusikan intial resources maupun redistribusi melalui zakat ataupun pajak-pajak lainnya.
                 Ia tidak membahas struktur pasar, sekalipun ia ada menyebut bahwa kekuatan pasar kapitalisme tidak ada didalam sistem ekonomi islam meskipun perusahaan ada, motif mereka bukanlah maksimasi laba belaka dan produksi mereka akan mencerminkan kebutuhan masyarakat. Taleghani mengusulkan adanya pasar yang ‘terpimpin’ dimana negara memainkan peranan penting sebagai pelindung dan regulator kegiatan ekonomi, yang berpartisipasi secara langsung (khususnya dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar.

F.       Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pemikiran ekonomi Islam dalam perspektif Taleghani menempatkan manusia memiliki peranan sentral. Karakter manusia memiliki dua aspek yakni prinsip internal mencakup keinginannya akan harta, dan dorongan eksternal (yang berubah-ubah) disebabkan oleh kondisi lingkungan dan ekonomi. Oleh karenanya keinginan akan kekayaan merupakan insting alamiah. Maka Taleghani menyatakan bahwa ekonomi Islam berhubungan dengan melihat dan menyatakan batas-batas keinginan. Ekonomi Islam meliputi pelatihan etika, penilaian intelektual, serta mencakup ajaran-ajaran agama dan sosial.
Karakteristik pemikiran ekonomi Islam Taleghani terletak pada permasalahan ekonomi yang berkisar pada tiga isu besar, yaitu harta dan kepemilikan, kebebasan dan peredaran uang. Dalam kepemilikan harta Taleghani berpendapat bahwa tanah dan sumber daya alam tidak boleh dimiliki oleh siapapun juga. Hanya wali kaum Muslimin (imam dan wali-e amr), yang telah memiliki komitmen kepada kesejahteraan publik, yang memiliki hak untuk menyelia bumi dan sumber-sumbernya. Individu atau masyarakat boleh memiliki tanah dengan bekerja dan syarat tertentu. Taleghani juga berpendapat bahwa negara memiliki peran penting dalam mengatur pengunaan sumber daya alam dan sebagai pengambil kebijakan untuk tujuan kesejahteraan masyarakat.
Dalam pemikiran Taleghani juga membahas mengenai larangan riba implementasi zakat, distribusi dan produksi, namun tidak dipaparkan secara mendalam mengeni hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Haneef, Mohamed Aslam. 2010. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer: Ananilis Komparatif Terpilih. Jakarta: Rajawali Pers

Irfan, Lukman A. 2008. Sejarah Ekonomi Islam: Perkembangan Panjang Realitas Ekonomi Islam. Dalam Tim Penulis MSI UII. 2008. Menjawab Keraguan Berekonomi Syariah. Yogyakarta: Safiria Insania Press Bekerjasama dengan MSI UII. http://master.islamic.uii.ac.id/index.php/Artikel/Sejarah-Ekonomi-Islam-Perkembangan-Panjang-Realitas-Ekonomi-Islam.html.

Karim, Adiwarman. 2002. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: The Internasional Institute of Islamic Thought (IIIT).


                                                         




[1] Karim, Adiwarman, 2002. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: The International Intitute of Islamic Thought Indonesia (IIIT).
[2] Lukman A. Irfan. 2008. Sejarah Ekonomi Islam: Perkembangan Panjang Realitas Ekonomi Islam. Dalam Tim Penulis MSI UII. 2008. Menjawab Keraguan Berekonomi Syariah. Yogyakarta: Safiria Insania Press Bekerjasama dengan MSI UII. http://master.islamic.uii.ac.id/index.php/Artikel/Sejarah-Ekonomi-Islam-Perkembangan-Panjang-Realitas-Ekonomi-Islam.html
[3] Lukman A. Irfan. 2008. Sejarah Ekonomi Islam: Perkembangan Panjang Realitas Ekonomi Islam...
[4] Haneef, Mohamed Aslam. 2010. Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer: Ananilis Komparatif Terpilih. Jakarta: Rajawali Pers. Hal. 111
[5] http://fahmie91.blogspot.com/2012/05/pemikir-ekonomi-islam-kontemporer.html
[6] Haneef, Mohamed Aslam. 2010. Pemikiran Ekonomi... Hal. 112-113
[7] Haneef, Mohamed Aslam. 2010. Pemikiran Ekonomi... Hal. 113-114
[8] Haneef, Mohamed Aslam. 2010. Pemikiran Ekonomi... Hal. 117
[9] Haneef, Mohamed Aslam. 2010. Pemikiran Ekonomi... Hal. 117-121
[10] Menyelia: to supervise. Penyelia: supervisor
[11] Anfal, yakni tanah yang asalnya dimiliki oleh seluruh kaum Muslimin. Dengan izin Imam, hak memiliki itu dapat diberikan kepada seseorang melalui kerja.
[12] Fay’, yakni  tanah yang dimiliki oleh  Imam dan berada dalam kekuasaannya. Tanah tersebut digarap baik untuk ‘keperluan pribadi’-nya maupun untuk kepentingan umum.
[13] Haneef, Mohamed Aslam. 2010. Pemikiran Ekonomi... Hal. 121-122
[14] Haneef, Mohamed Aslam. 2010. Pemikiran Ekonomi... Hal. 123
[15] Haneef, Mohamed Aslam. 2010. Pemikiran Ekonomi... Hal.123

Tidak ada komentar:

Posting Komentar