Kamis, 22 Januari 2015

Distribusi Pendapatan Dalam Islam Dan Dampak Dari Distribusi Pendapatan Bagian 1


Oleh: Yurda Indari

A.  Pendahuluan
Salah satu, masalah utama dalam kehidupan sosial di masyarakat adalah mengenai cara melakukan pengalokasian dan pendistribusian sumber daya yang langka tanpa harus bertentangan dengan tujuan makro ekonomi. Kesenjangan dan kemiskinan pada dasarnya muncul karena mekanisme distribusi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Masalah ini tidak terjadi karena perbedaan kuat dan lemahnya akal serta fisik manusia sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan perolehan kekayaan karena itu adalah fitrah yang pasti terjadi. Permasalahan sesungguhnya terjadi karena penyimpangan distribusi yang secara akumulatif berakibat pada kesenjangan kesempatan memeroleh kekayaan. Yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin semakin tidak memiliki kesempatan kerja[1].

Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Salah satu tujuannya adalah untuk mewujudkan keadilan dalam pendistribusian harta, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun individu. Keadilan dan kesejahteraan masyarakat tergantung pada sistem ekonomi yang dianut[2].
Sistem ekonomi Islam berdasarkan pada Al-Quran dan Sunnah. Perkara-perkara asas muamalah dijelskan didalamnya dalam bentuk suruhan dan larangan. Suruhan dan larangan tersebut bertujuan untuk membangun keseimbangan rohani dan jasmani manusia berasaskan tauhid[3]. Tujuan dan nilai-nilai dari sistem ekonomi islam adalah untuk memenuhi semua kebutuhan dari segala sektor kegiatan dan kebutuhan manusia. Tujuan dan nilai-nilai tersebut adalah melakukan aktivitas ekonomi yang baik dalam kerangka kerja norma-norma moral islam, menjalin persaudaraan dan menciptakan kesejahteraan secara universa. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan distribusi pendapatan yang merata sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan sosial[4].
Islam menekankan keadilan distribusi dan menyertakan dalam sistemnya suatu program acara untuk pembagian kembali kekayaan dan kemakmuran, sehingga tiap-tiap individu dijamin dengan suatu standar hidup yang terhormat dan ramah satu sama lain[5].
Dasar karakteristik pendistribusian dalam sistem ekonomi islam adalah adil dan jujur, karena dalam Islam sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan, semua akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Pelaksanaan distribusi bertujuan untuk saling memberi manfaat dan menguntungkan satu sama lain. Secara umum, Islam mengarahkan mekanisme muamalah antara produsen dan konsumen agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Apabila terjadi ketidakseimbangan distribusi kekayaan, maka hal ini akan memicu timbulnya konflik individu maupun sosial[6].
Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat dari distibusi yang tidak merata, menjadi perlu untuk memahami bagaimana nilai dan moral distribusi pendapatan dalam islam?, bagaimana peran negara dalam mendistribusikan pendapatan?, bagaimana melakukan efisiensi dan alokasi pendapatan?, dan apa saja dampak dari pendistribusian pendapatan?, berikut akan dibahas lebih jauh dalam makalah ini.
    
B.  Nilai dan Moral Distribusi Islam
Yusuf Qardhawi dalam Muhammad mengatakan bahwa distribusi dalam ekonomi Islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat mendasar dan penting, yaitu: nilai kebebasan dan nilai keadilan. Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak kekayaan telah memberi amanat kepada manusia untuk mengatur dan mengelola kekayaan disertai kewenangan untuk memiliki kekayaan tersebut[7]. Sehu­bungan dengan masalah distribusi ini, Qardhawi menjelaskan sebagai berikut[8]:
1.    Nilai Kebebasan
a.    Asas Kebebasan
Kebebasan dalam melakukan aktivitas ekonomi harus di­landasi keimanan kepada Allah dan ke-Esaan-Nya serta keya­kinan manusia kepada Sang Pencipta. Allah-lah yang mencip­takan dan Dia pula yang mengatur segala urusan sehingga tidak layak lagi bagi manusia untuk menyombongkan diri serta bertindak otoriter terhadap makhluk lainnya. Tidak boleh ada pemaksaan dan penindasan karena seluruh makhluk di hadapan Tuhan adalah sama. Hanya kepada-Nyalah semua ma­nusia harus tunduk dan meminta pertolongan.
Keyakinan manusia kepada Allah didasarkan atas persiap­an material dan spiritual yang diberikan Allah kepada manusia dalam melakukan tugasnya sebagai khalifah. Kebebasan ma­nusia adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupannya. Seorang yang terbelenggu tidak akan produktif. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk berusaha, memiliki, mengelola dan membelanjakan hartanya sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Allah sehingga manu­sia pantas dimuliakan dan menerima amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan di Hari Kemudian.

b. Bukti-bukti kebebasan
1)     Hak milik pribadi
Kepemilikan adalah suatu bukti prinsip kebebasan. Seorang yang memiliki suatu benda dapat menguasai dan memanfaatkannya. Ia dapat pula mengembangkan hak miliknya dengan cara-cara yang dibenarkan Islam. Islam melindungi hak milik pribadi dari perbuatan zalim sese­orang dan menganjurkan untuk mempertahankan hak mi­liknya. Kebebasan mengharuskan seseorang untuk me­nanggung risiko sesuai dengan apa yang dilakukan dan memberikan hak orang lain yang terdapat di dalam har­tanya.
1)    Warisan
Disyari'atkannya warisan adalah sebagai pencermin­an kebebasan. Di rnana seseorang dapat melestarikan dan mengelola secara berkesinambungan apa yang menjadi miliknya. Perolehan hak milik dari pemilik yang lama kepada penggantinya dapat terjadi dalam dua hal, yaitu: melalui warisan dan wasiat. Kedua hal ini diakui oleh syar'i dengan maksud untuk memelihara kemaslahatan individu, keluarga dan masyarakat.
Kemaslahatan individu dapat diperoleh dengan memenuhi keinginannya serta menjaga kepentingannya dari perampasan hak yang merupakan salah satu hikmah dsyari'atkannya wasiat dan waris. Kedua hal tersebut dapat pula menguatkan hubungan ke­luarga dan saling tolong-menolong dan saling mewarisi setelah kematian seseorang.
Orang tua mengharapkan kebaikan bagi anak-anaknya (ketu­runannya) dan berharap amalannya akan berkelanjutan kepada anak-anaknya yang merupakan cermin dari eratnya hubungan pera­saan mereka. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan hadist Nabi saw. yang terkenal yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.
“Jika Anak Adam (manusia) meninggal maka putuslah amalannya kecuali tiga hal, yaitu: sadaqah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang berdoa untuk orang tuanya.” (HR. Muslim)

Bentuk kemaslahatan yang kedua adalah diberikan kepada ke­luarga terdekat. Oleh karena itu Islam menganjurkan agar membe­rikan nafkah kepada orang lain yang dimulai dari keluarga yang terdekat. Bentuk kemaslahatan yang ketiga adalah bagi masyarakat yang berdampak pada sistem distribusi. Warisan merupakan faktor yang sangat berperan dalam pemerataan kekayaan, perluasan dan pemindahan dari seorang pemilik kepada beberapa orang yang ke­tentuan pembagiannya telah ditentukan oleh Allah dalam Al-Qur'an.

2.    Nilai Keadilan
Kebebasan dalam Islam tidak bersifat mutlak. Oleh karena itu meskipun seseorang diperbolehkan memiliki namun ada ketentuan batasannya atau aturan dalam memperoleh, mengembangkan dan mengkonsumsi harta yang dimilikinya. Islam juga mewajibkan se­tiap orang untuk mengeluarkan bagian tertentu dari harta yang dimilikinya.
Hal di atas dimaksudkan karena pada dasarnya manusia sangat senang mengumpulkan harta sehingga dalam pembelanjaan harta­nya terkadang is berlaku boros dan bersifat kikir. Oleh karena itu Islam memberikan perhatian mengenai keadilan dan larangan ber­buat zalim. (Q.S 42: 20, ...sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim) Ayat yang ditegaskan dalam al-Qur'an yakni seorang Muslim tidak diperbolehkan berbuat zalim terhadap orang lain termasuk lingkungannya. Kaitannya dengan distribusi pendapatan jika dalam pendistribusian pendapatan dilakukan dengan tidak adil maka akan menimbulkan keresahan dan protes dari pemilik factor produksi. Oleh karena itu pembagian pendapatan harus diberikar sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.

C.  Peran Negara Dalam Distribusi Pendapatan
Islam mengakui adanya kepemilikan individu dan setiap orang bebas mengoptimalkan kreativitasnya serta memberi otoritas kepada pemiliknya sesuai dengan batasan yang ditetapkan Allah. Namun kebebasan yang diberikan itu terkadang disalahgunakan oleh sebagian orang misalnya dalam bentuk: pengambilan riba, perilaku monopoli, dan aktivitas yang sejenisnya. Jika aktivitas seperti ini terjadi maka pemimpin negara diperbolehkan melakukan intervensi seperlunya. Tujuannya ada­lah untuk menghentikan perilaku yang mengancam hak dan kesejah­teraan hidup masyarakat[9]. Menurut An-Nabahani dalam Muhammad, dikatakan bahwa tugas-­tugas pemerintah dalam perekonomian dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) mengawasi faktor utama penggerak ekonomi; (2) menghentikan mu'ama­lah yang diharamkan; dan (3) mematok harga kalau diperlukan[10].
Pemerintah harus mengawasi gerak perekonomian seperti dalam aktivitas produksi dan distribusi barang, praktek yang tidak benar sepert: penimbunan terhadap bahan pokok yang sangat diperlukan masyarakat, monopoli dan tindakan mempermainkan harga untuk menjaga kemasla­hatan bersama. Pematokan harga pada mulanya diharamkan. Karena kondisi penjual saat itu pada posisi lemah yang berbeda dengan keadaan saat ini. Di mana seorang penjual dapat berbuat apa saja. Oleh karena itu peran pemerintah untuk mematok harga suatu komoditas tertentu diper­bolehkan atau bahkan menjadi wajib. Sebab untuk menciptakan keadilan dan kemaslahan bersama.
Dalam kaitan ini Qardhawi dalam Muhammad menegaskan bahwa tugas negara adalah berupaya untuk menegakkan kewajiban dan, keharusan mencegah terjadi­nya hal-hal yang diharamkan khususnya dosa besar, seperti: riba, pe­rampasan hak, pencurian dan kedzaliman kaum kuat terhadap lemah. Pernyataan ini mengandung maksud, bahwa negara bertugas untuk menetapkan aturan atau undang-undang berdasarkan nilai dan moral ke dalam praktek nyata serta mendirikan institusi (lembaga) untuk menjaga serta memantau pelaksanaan kewajiban masyarakat dan meng­hukum orang yang melanggar dan melalaikan kewajibannya. Pemerintah harus dapat menghapuskan kemiskinan minimal mengurangi jumlah penduduk yang miskin[11].
Demikian pula negara harus dapat meningkatkan aktivitas bisnis dan mencegah terjadinya eksploitasi terhadap pihak tertentu dalam ma­syarakat. Menurut Mannan dalam Muhammad, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan distribusi pendapatan adalah kebijakan fiskal dan anggaran be­lanja. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengembangkan suatu masya­rakat yang didasarkan pada distribusi kekayaan yang berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama[12].
Kebijakan fiskal dianggap sebagai alat untuk mencapai pemerataan kekayaan negara yang mekanismenya harus berdasarkan nilai dan prin­sip hukum dalam al-Qur'an. Kegiatan yang menambah penghasilan nega­ra harus digunakan untuk mencapai tujuan ekonomi dan sosial tertentu berdasaran hukum Allah yang melarang penumpukkan kekayaan di antara segolongan kecil masyarakat. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendukung fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi dalam suatu negara.
Peran pemerintah dalam distribusi pen­dapatan baik ditinjau dari segi kapitalis maupun Islam dapat di­buat suatu perbandingan bahwa kebijakan pemerintah yang berkaitan secara langsung berhubungan dengan penciptaan nilai mata uang serta menentukan harga agar tidak terjadi inflasi. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh sistem kapitalis digunakar sebagai sumber utama penerimaan negara yang dimanfaatkan untuk pe­nyelenggaraan pemerintahan serta membiayai pembangunan dan menga­tur kegiatan ekonomi dalam rangka mewujudkan keadilan dan peme­rataan pendapatan. Islam menggunakan dana yang diperoleh dari pajak hanya untuk pengeluaran yang penting dan harus didistribusikan kem­bali kepada masyarakat dengan jalan yang benar dan jujur. Islam me­larang pejabat pemerintah untuk menggunakan fasilitas negara bagi diri dan keluarganya kecizali dalam rangka tugas pemerintahan[13].
Dalam kebijakan fiskal menurut Islam, selain pajak dikenal pula zakat yang merupakan salah satu inti ajaran Islam. Islam menentukan infak dan mewajibkan zakat kepada orang kaya. Zakat merupakan sarana penyucian diri dan harta karena pada dasarnya dalam harta manusia terdapat hak orang lain yang harus diberikan. Negara berhak mengum­pulkan zakat dan menyalurkann.ya kepada yang berhak menerimanva serta memaksa siapa saja yang tidak mau mengeluarkan zakat dan meng­ingatkan para wajib zakat. Untuk melakukan tugas tersebut, negara dapat membuat undang-­undang dan membentuk lembaga yang bertugas mengurus masalah ter­sebut dan juga harus memegang amanah (mengelola zakat) dan menvarn­paikannya kepada yang berhak serta mencegah semua bentuk kezalimar dan praktek yang dilarang oleh Islam seperti: penimbunan, memper­mainkan harga dan perilaku pemborosan[14].
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam Islam negara berhak menarik pajak dan disalurkan kembali berupa fasilitas dari pajak dan hanya dalam rangka tugas pemerintahan. Demi­kian pula negara dapat mengelola dan menyalurkan zakat, sehingga dengan demikian negara dapat berperan sebagai agen yang efektif yang mampu rnenerapkan aturan-aturan dalam al-Qur'an dan al-Hadits serta pedapat ulama yang berhubungan dengan prinsip-prinsip distribusi pen­dapatan.


[1] Rahmawari, Muin. Sistem Distribusi Dalam Persfektif Ekonomi Islam. http://www.uin-alauddin.ac.id/download-2-RAHMAWATI%20MUIN.pdf
[2] http://ekonomiduniaislam.blogspot.com/2013/02/distribusi-dalam-ekonomi-islam.html
[3] Rivai, Veithzal. Andi, Buchari. 2009. Islamic Economics: Ekonomi Syariah bukan opsi, tetapi solusi. Jakarta: PT.Bumi Aksara. Hal. 88
[4] Rivai, Veithzal. Andi, Buchari. 2009. Islamic Economics... Hal 111-112
[5] Rivai, Veithzal. Andi, Buchari. 2009. Islamic Economics... Hal. 130
[6] http://ekonomiduniaislam.blogspot.com/2013/02/distribusi-dalam-ekonomi-islam.html
[7]Muhammad. 2004. Ekonomi Mikro Dalam Persfektif Islam. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta. Hal. 317
[8]Lihat: Muhammad. 2004. Ekonomi Mikro Dalam... Hal. 317-319
[9] Muhammad. 2004. Ekonomi Mikro Dalam... Hal. 320
[10] Muhammad. 2004. Ekonomi Mikro Dalam... Hal. 320
[11] Muhammad. 2004. Ekonomi Mikro Dalam... Hal. 320
[12] Muhammad. 2004. Ekonomi Mikro Dalam... Hal. 321
[13] Anwar, Deky. 2014. Ekonomi Mikro Islam. Palembang: Noer Fikri Offset. Hal. 246.
[14] Anwar, Deky. 2014. Ekonomi Mikro Islam... Hal. 246-247.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar