Oleh: Yurda Indari
A. Pendahuluan
Salah satu, masalah utama dalam kehidupan sosial di
masyarakat adalah mengenai cara melakukan pengalokasian dan pendistribusian sumber daya yang langka
tanpa harus bertentangan dengan tujuan makro ekonomi. Kesenjangan dan kemiskinan pada
dasarnya muncul karena mekanisme distribusi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Masalah ini tidak terjadi karena perbedaan kuat dan lemahnya akal serta fisik manusia sehingga menyebabkan
terjadinya perbedaan perolehan kekayaan karena itu adalah fitrah yang pasti terjadi.
Permasalahan sesungguhnya terjadi karena penyimpangan distribusi yang
secara akumulatif berakibat pada kesenjangan kesempatan memeroleh kekayaan. Yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin semakin tidak memiliki kesempatan kerja[1].
Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia,
termasuk dalam bidang ekonomi. Salah satu tujuannya adalah untuk mewujudkan
keadilan dalam pendistribusian harta, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun
individu. Keadilan dan kesejahteraan masyarakat tergantung pada sistem ekonomi
yang dianut[2].
Sistem ekonomi Islam berdasarkan pada Al-Quran dan
Sunnah. Perkara-perkara asas muamalah dijelskan didalamnya dalam bentuk suruhan
dan larangan. Suruhan dan larangan tersebut bertujuan untuk membangun
keseimbangan rohani dan jasmani manusia berasaskan tauhid[3].
Tujuan dan nilai-nilai dari sistem ekonomi islam adalah untuk memenuhi semua
kebutuhan dari segala sektor kegiatan dan kebutuhan manusia. Tujuan dan
nilai-nilai tersebut adalah melakukan aktivitas ekonomi yang baik dalam
kerangka kerja norma-norma moral islam, menjalin persaudaraan dan menciptakan kesejahteraan
secara universa. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan distribusi pendapatan
yang merata sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan sosial[4].
Islam
menekankan keadilan distribusi dan menyertakan dalam sistemnya suatu program
acara untuk pembagian kembali kekayaan dan kemakmuran, sehingga tiap-tiap
individu dijamin dengan suatu standar hidup yang terhormat dan ramah satu sama
lain[5].
Dasar karakteristik pendistribusian dalam sistem
ekonomi islam adalah adil dan jujur, karena dalam Islam sekecil apapun
perbuatan yang kita lakukan, semua akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Pelaksanaan distribusi bertujuan untuk saling memberi manfaat dan menguntungkan
satu sama lain. Secara umum, Islam mengarahkan mekanisme muamalah antara
produsen dan konsumen agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Apabila
terjadi ketidakseimbangan distribusi kekayaan, maka hal ini akan memicu
timbulnya konflik individu maupun sosial[6].
Oleh
karena itu, untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat dari distibusi
yang tidak merata, menjadi perlu untuk memahami bagaimana nilai dan moral distribusi
pendapatan dalam islam?, bagaimana peran negara dalam mendistribusikan
pendapatan?, bagaimana melakukan efisiensi dan alokasi pendapatan?, dan apa
saja dampak dari pendistribusian pendapatan?, berikut akan dibahas lebih jauh
dalam makalah ini.
B. Nilai dan Moral Distribusi Islam
Yusuf Qardhawi dalam Muhammad mengatakan bahwa distribusi
dalam ekonomi Islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat
mendasar dan penting, yaitu: nilai kebebasan dan nilai keadilan. Pendapat ini
didasarkan atas kenyataan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak
kekayaan telah memberi amanat kepada manusia untuk mengatur dan
mengelola kekayaan disertai kewenangan untuk memiliki kekayaan tersebut[7]. Sehubungan dengan masalah distribusi ini, Qardhawi menjelaskan sebagai berikut[8]:
1.
Nilai Kebebasan
a.
Asas Kebebasan
Kebebasan dalam melakukan aktivitas ekonomi harus dilandasi keimanan kepada Allah dan ke-Esaan-Nya serta keyakinan manusia
kepada Sang Pencipta. Allah-lah yang menciptakan dan Dia pula
yang mengatur segala urusan sehingga tidak layak lagi
bagi manusia untuk menyombongkan diri serta bertindak otoriter
terhadap makhluk lainnya. Tidak boleh ada pemaksaan dan
penindasan karena seluruh makhluk di hadapan Tuhan adalah
sama. Hanya kepada-Nyalah semua manusia harus tunduk
dan meminta pertolongan.
Keyakinan manusia kepada Allah didasarkan atas persiapan material dan spiritual yang diberikan Allah kepada manusia dalam melakukan
tugasnya sebagai khalifah. Kebebasan manusia
adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupannya. Seorang yang terbelenggu tidak akan
produktif. Islam memberikan kebebasan
kepada manusia untuk berusaha, memiliki, mengelola dan membelanjakan hartanya sesuai dengan
peraturan yang ditetapkan oleh Allah sehingga manusia pantas dimuliakan dan menerima amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan di Hari Kemudian.
b. Bukti-bukti
kebebasan
1)
Hak milik pribadi
Kepemilikan
adalah suatu bukti prinsip kebebasan. Seorang yang memiliki suatu
benda dapat menguasai dan memanfaatkannya. Ia dapat pula mengembangkan hak miliknya dengan cara-cara
yang dibenarkan Islam. Islam melindungi hak milik pribadi dari perbuatan zalim seseorang dan menganjurkan untuk
mempertahankan hak miliknya. Kebebasan mengharuskan seseorang untuk
menanggung risiko sesuai dengan apa yang dilakukan dan memberikan hak orang lain
yang terdapat di dalam hartanya.
1)
Warisan
Disyari'atkannya
warisan adalah sebagai pencerminan kebebasan. Di rnana seseorang dapat
melestarikan dan mengelola secara berkesinambungan apa yang
menjadi miliknya. Perolehan hak milik dari pemilik yang lama kepada penggantinya dapat
terjadi dalam dua hal, yaitu: melalui warisan dan wasiat. Kedua hal ini diakui
oleh syar'i dengan maksud untuk memelihara kemaslahatan individu, keluarga dan
masyarakat.
Kemaslahatan individu dapat diperoleh dengan memenuhi keinginannya serta menjaga kepentingannya dari perampasan hak yang merupakan salah satu hikmah dsyari'atkannya wasiat dan waris. Kedua hal tersebut dapat pula menguatkan hubungan keluarga dan saling tolong-menolong dan saling mewarisi setelah kematian seseorang.
Orang
tua mengharapkan kebaikan bagi anak-anaknya (keturunannya) dan berharap
amalannya akan berkelanjutan kepada anak-anaknya yang merupakan cermin dari eratnya
hubungan perasaan mereka. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan hadist
Nabi saw. yang terkenal yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.
“Jika Anak Adam (manusia) meninggal maka putuslah
amalannya kecuali tiga hal, yaitu: sadaqah jariyah atau ilmu yang bermanfaat
atau anak sholeh yang berdoa untuk orang tuanya.” (HR. Muslim)
Bentuk
kemaslahatan yang kedua adalah diberikan kepada keluarga terdekat. Oleh karena
itu Islam menganjurkan agar memberikan nafkah kepada orang lain yang dimulai dari
keluarga yang terdekat. Bentuk kemaslahatan yang ketiga adalah bagi
masyarakat yang berdampak pada sistem distribusi. Warisan merupakan
faktor yang sangat berperan dalam pemerataan kekayaan, perluasan dan pemindahan dari seorang
pemilik kepada beberapa orang yang ketentuan pembagiannya telah ditentukan
oleh Allah dalam Al-Qur'an.
2.
Nilai Keadilan
Kebebasan
dalam Islam tidak bersifat mutlak. Oleh karena itu meskipun seseorang
diperbolehkan memiliki namun ada ketentuan batasannya atau aturan
dalam memperoleh, mengembangkan dan mengkonsumsi harta yang dimilikinya. Islam juga
mewajibkan setiap orang untuk mengeluarkan bagian tertentu dari harta
yang dimilikinya.
Hal
di atas dimaksudkan karena pada dasarnya manusia sangat senang mengumpulkan harta
sehingga dalam pembelanjaan hartanya terkadang is berlaku boros dan bersifat
kikir. Oleh karena itu Islam memberikan perhatian mengenai keadilan dan
larangan berbuat zalim. (Q.S 42: 20, ...sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim) Ayat yang
ditegaskan dalam al-Qur'an yakni seorang Muslim tidak diperbolehkan
berbuat zalim terhadap orang lain termasuk lingkungannya. Kaitannya dengan
distribusi pendapatan jika dalam pendistribusian pendapatan dilakukan
dengan tidak adil maka akan menimbulkan keresahan dan protes dari
pemilik factor produksi. Oleh karena itu pembagian pendapatan harus
diberikar sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.
C. Peran Negara Dalam Distribusi Pendapatan
Islam
mengakui adanya kepemilikan individu dan setiap orang bebas mengoptimalkan
kreativitasnya serta memberi otoritas kepada pemiliknya sesuai dengan
batasan yang ditetapkan Allah. Namun kebebasan yang diberikan itu
terkadang disalahgunakan oleh sebagian orang misalnya dalam bentuk:
pengambilan riba, perilaku monopoli, dan aktivitas yang sejenisnya.
Jika aktivitas seperti ini terjadi maka pemimpin negara diperbolehkan
melakukan intervensi seperlunya. Tujuannya adalah untuk menghentikan
perilaku yang mengancam hak dan kesejahteraan hidup masyarakat[9]. Menurut An-Nabahani dalam
Muhammad, dikatakan bahwa tugas-tugas pemerintah dalam perekonomian dibagi
menjadi tiga, yaitu: (1) mengawasi faktor utama penggerak ekonomi; (2)
menghentikan mu'amalah yang diharamkan; dan (3) mematok harga kalau
diperlukan[10].
Pemerintah
harus mengawasi gerak perekonomian seperti dalam aktivitas produksi dan
distribusi barang, praktek yang tidak benar sepert: penimbunan terhadap bahan
pokok yang sangat diperlukan masyarakat, monopoli dan tindakan
mempermainkan harga untuk menjaga kemaslahatan bersama. Pematokan
harga pada mulanya diharamkan. Karena kondisi penjual saat itu
pada posisi lemah yang berbeda dengan keadaan saat ini. Di mana seorang
penjual dapat berbuat apa saja. Oleh karena itu peran pemerintah untuk
mematok harga suatu komoditas tertentu diperbolehkan atau bahkan
menjadi wajib. Sebab untuk menciptakan keadilan dan kemaslahan bersama.
Dalam
kaitan ini Qardhawi dalam Muhammad menegaskan bahwa tugas negara adalah
berupaya untuk menegakkan kewajiban dan, keharusan mencegah terjadinya hal-hal yang diharamkan
khususnya dosa besar, seperti: riba, perampasan hak, pencurian dan
kedzaliman kaum kuat terhadap lemah. Pernyataan ini mengandung
maksud, bahwa negara bertugas untuk menetapkan aturan atau undang-undang
berdasarkan nilai dan moral ke dalam praktek nyata serta mendirikan
institusi (lembaga) untuk menjaga serta memantau pelaksanaan kewajiban
masyarakat dan menghukum orang yang melanggar dan melalaikan kewajibannya.
Pemerintah harus dapat menghapuskan kemiskinan minimal mengurangi
jumlah penduduk yang miskin[11].
Demikian
pula negara harus dapat meningkatkan aktivitas bisnis dan mencegah terjadinya
eksploitasi terhadap pihak tertentu dalam masyarakat. Menurut Mannan
dalam Muhammad, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan distribusi pendapatan
adalah kebijakan fiskal dan anggaran belanja. Kebijakan tersebut
bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan pada
distribusi kekayaan yang berimbang dengan menempatkan nilai-nilai
material dan spiritual pada tingkat yang sama[12].
Kebijakan
fiskal dianggap sebagai alat untuk mencapai pemerataan kekayaan negara yang
mekanismenya harus berdasarkan nilai dan prinsip hukum dalam al-Qur'an.
Kegiatan yang menambah penghasilan negara harus digunakan untuk
mencapai tujuan ekonomi dan sosial tertentu berdasaran hukum Allah yang
melarang penumpukkan kekayaan di antara segolongan kecil masyarakat. Kebijakan
tersebut diharapkan dapat mendukung fungsi alokasi, distribusi dan
stabilisasi dalam suatu negara.
Peran
pemerintah dalam distribusi pendapatan baik ditinjau dari segi kapitalis maupun
Islam dapat dibuat suatu perbandingan bahwa kebijakan
pemerintah yang berkaitan secara langsung berhubungan dengan penciptaan
nilai mata uang serta menentukan harga agar tidak terjadi inflasi. Pemungutan pajak yang
dilakukan oleh sistem kapitalis digunakar sebagai sumber utama penerimaan negara yang
dimanfaatkan untuk penyelenggaraan
pemerintahan serta membiayai pembangunan dan mengatur kegiatan ekonomi dalam rangka mewujudkan
keadilan dan pemerataan pendapatan.
Islam menggunakan dana yang diperoleh dari pajak hanya untuk pengeluaran yang penting dan harus didistribusikan kembali kepada masyarakat dengan jalan yang benar dan
jujur. Islam melarang pejabat
pemerintah untuk menggunakan fasilitas negara bagi diri dan keluarganya kecizali dalam rangka tugas
pemerintahan[13].
Dalam
kebijakan fiskal menurut Islam, selain pajak dikenal pula zakat yang merupakan salah
satu inti ajaran Islam. Islam menentukan infak dan mewajibkan zakat
kepada orang kaya. Zakat merupakan sarana penyucian diri dan harta
karena pada dasarnya dalam harta manusia terdapat hak orang lain yang
harus diberikan. Negara berhak mengumpulkan zakat dan
menyalurkann.ya kepada yang berhak menerimanva serta memaksa siapa saja
yang tidak mau mengeluarkan zakat dan mengingatkan para wajib zakat. Untuk
melakukan tugas tersebut, negara dapat membuat undang-undang dan membentuk
lembaga yang bertugas mengurus masalah tersebut dan juga harus memegang amanah (mengelola zakat) dan menvarnpaikannya kepada yang berhak serta mencegah semua
bentuk kezalimar dan praktek yang
dilarang oleh Islam seperti: penimbunan, mempermainkan harga dan perilaku pemborosan[14].
Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam Islam negara berhak menarik pajak dan
disalurkan kembali berupa fasilitas dari pajak dan hanya dalam rangka
tugas pemerintahan. Demikian pula negara dapat mengelola dan menyalurkan
zakat, sehingga dengan demikian negara dapat berperan sebagai
agen yang efektif yang mampu rnenerapkan aturan-aturan dalam al-Qur'an dan al-Hadits serta pedapat ulama yang berhubungan dengan
prinsip-prinsip distribusi pendapatan.
[1]
Rahmawari, Muin. Sistem Distribusi Dalam Persfektif Ekonomi Islam.
http://www.uin-alauddin.ac.id/download-2-RAHMAWATI%20MUIN.pdf
[2]
http://ekonomiduniaislam.blogspot.com/2013/02/distribusi-dalam-ekonomi-islam.html
[3]
Rivai, Veithzal. Andi, Buchari. 2009. Islamic
Economics: Ekonomi Syariah bukan opsi, tetapi solusi. Jakarta: PT.Bumi
Aksara. Hal. 88
[4] Rivai,
Veithzal. Andi, Buchari. 2009. Islamic
Economics... Hal 111-112
[5] Rivai,
Veithzal. Andi, Buchari. 2009. Islamic
Economics... Hal. 130
[6]
http://ekonomiduniaislam.blogspot.com/2013/02/distribusi-dalam-ekonomi-islam.html
[7]Muhammad. 2004. Ekonomi Mikro Dalam Persfektif Islam.
Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta. Hal. 317
[8]Lihat: Muhammad.
2004. Ekonomi Mikro Dalam... Hal.
317-319
[9] Muhammad. 2004.
Ekonomi Mikro Dalam... Hal. 320
[10] Muhammad. 2004.
Ekonomi Mikro Dalam... Hal. 320
[11] Muhammad. 2004.
Ekonomi Mikro Dalam... Hal. 320
[12] Muhammad. 2004.
Ekonomi Mikro Dalam... Hal. 321
[13] Anwar, Deky.
2014. Ekonomi Mikro Islam. Palembang:
Noer Fikri Offset. Hal. 246.
[14] Anwar, Deky.
2014. Ekonomi Mikro Islam... Hal.
246-247.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar