Rabu, 02 Oktober 2013

Pengertian, Ketentuan, Landasan Hukum, dan Jenis Akad Dalam Obligasi Syariah (SUKUK)

Oleh: Yurda Indari

Pengertian Obligasi
Obligasi merupakan bukti pengakuan utang dari perusahaan. Instrument ini sering disebut dengan bonds. Obligasi di dalamnya mengandung suatu perjanjian/kontrak yang mengikat kedua belah pihak, antara pembeli pinjaman dan penerima pinjaman. Penerbit obligasi menerima pinjaman dari pemegang obligasi dengan ketentuan-ketentuan yang sudah diatur, baik mengenai waktu jatuh tempo pelunasan utang, bunga yang dibayarkan, besarnya pelunasan dan ketentuan-ketentuan tambahan lain. (Anoraga, 2001: 67)
Dalam peraturan perundang-undangan pasar modal, obligasi adalah bukti hutang emiten yang mengandung janji pembayaran bunga atau janji lain serta pelunasan pokok pinjamannya dilakukan pada tanggal jatuh tempo, sekurang-kurangnya 3 tahun sejak tanggal emisi. (Setiadi, 1996: 4)
Pendapat lain mengatakan pengertian obligasi adalah
sertifikat yang berisi kontrak antara investor dan perusahaan yang menyatakan bahwa investor tersebut/pemegang obligasi telah meminjamkan sejumlah uang kepada perusahaan. Perusahaan yang menerbitkan obligasi mempunyai kewajiban untuk membayar bunga secara reguler sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan serta pokok pinjaman pada saat jatuh tempo. (Anwar, IAIN Raden Fatah Palembang)
Menurut Mohamad Samsul (2006: 45) obligasi (bonds) adalah tanda bukti perusahaan memiliki hutang jangka panjang kepada msyarakat yaitu di atas 3 tahun. Pihak yang membeli obligasi disebut pemegang obligasi (bondholder) dan pemegang obligasi akan menerima kupon sebagai pendapatan dari obligasi yang dibayarkan setiap 3 bulan atau 6 bulan sekali. Pada saat pelunasan obligasi oleh perusahaan, pemegang obligasi akan menerima kupon dan pokok obligasi.
Taufik Hidayat (2011: 111) mendefinisikan obligasi sebagai surat berharga atau sertifikat yang berisi kontrak antara pemberi dana (investor) dengan yang  diberi dana (emiten). Dengan kata lain, obligasi (konvensional) adalah suatu surat berharga jangka panjang yang bersifat utang dimana penerbit memiliki kewajiban membayar bunga kepada pemegang surat berharga tersebut selama periode tertentu dan melunasi pokok pada saat jatuh tempo. Namun, obligasi yang bersifat utang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga seperti yang ada pada obligasi konvensional tidak dibenarkan dalam Islam.
Dalam Islam istilah yang tepat untuk obligasi adalah sukuk. Kata sukuk berasal dari bahasa Persia, yaitu “jak”, lalu masuk kedalam bahasa Arab dengan nama “shak”. Goitien menyebutkan bahwa “shak” asal kata dari kata “ cek atau cheque” yang terdapat dalam bahasa Inggris yang berarti surat utang. Secara terminologi sukuk adalah sebuah kertas (buku) atau catatan yang padanya terdapat perintah dari sesorang untuk pembayaran uang dengan jumlah tertentu pada orang lain yang namanya tertera pada kertas tersebut. (Rodoni, 2008: 133)
Menurut peraturan BAPEPAM dan LK Nomor: IX.A.13 yang dikutip oleh Taufik Hidayat (2011: 112) memberikan definisi sukuk sebagai efek syariah berupa setifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak tertentu (tidak terpisahkan atau tidak terbagi/syuyu’/undividen share) atas:
Aset berwujud tertentu (ayyan maujudat)
Nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul ayyan) tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan datang.
Jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada
Aset proyek tertentu (maujudat masyru’ muayyan) dan atau
Kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin khashah)
Dalam fatwa DSN MUI Nomor: 32/DSN-MUI/IX/2002 pengertian obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Secara umum, sukuk adalah obligasi yang dijamin oleh adanya aset, mempunyai pengembalian yang stabil, dapat diperjualbelikan, dan sesuai dengan aturan syariah. syarat utama untuk penerbitan sukuk adalah adanya suatu aset atau sekumpulan aset pada neraca keuangan pemerintah, otoritas moneter, perusahaan korporat, bank, institusi keuangan atau badan apa pun yang ingin memobilisasi sumber-sumber keuangan. Pengidentifikasian aset yang cocok adalah hal utama yang harus diperhatikan dalam proses penerbitan sukuk. (Rodoni, 2008: 135)
Tabel II.1
Perbandingan Obligasi Konvensional dan Obligasi Syariah

Karakteristik
Obligasi Konvensional
Obligasi Syariah
Sifat kepemilikan
Surat utang
Investasi
Sumber pendapatan
Nilai utang
Income
Pembayaran pendapatan
Tetap
Variabel dan tetap
Risiko
Bebas risiko
Tidak bebas risiko
Underlying asset
Tidak ada
Ada
Pengunaan hasil penerbitan
Bebas
Sesuai syariah
Investor
Konvensional
Islami, Konvensional
Harga
Market Price
Market Price
Penghasilan
Bunga/kupon, Capital again
Imbalan, Bagi hasil, Margin
Penerbit
Pemerintah, Korporasi
Pemerintah, korporasi
Pihak terkait
Obligor/Issuer, Investor
Obligor, SPV, Investor, Trustee
Sumber: Hidayat (2011:113)
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa meski secara prinsip terdapat perbedaan, masih ada persamaan antara obligasi konvensional dan obligasi syariah (sukuk). Beberapa kesamaan tersebut diantaranya sama-sama memiliki jatuh tempo, pembayaran pendapatan dilakukan secara periodik dan harga berdasarkan market price.
Ketentuan Umum Obligasi Syariah
Obligasi syariah (sukuk) pada prinsipnya adalah pendanaan jangka panjang yang berarti modal atau principal dari sukuk itu harus kembali kepada para investor di samping tambahan keuntungan yang diharapkan. Ada tiga pelaku pokok dalam sistem sukuk, yaitu:
1.         Perusahaan yang memerlukan dana
2.         Investor yang kelebihan dana menginginkan agar dananya produktif
3.         Pihak yang mengatur pelaksanaan sistem sukuk ini, yaitu senantiasa yang bertindak sebagai mediator (Special Purpose Vehicle/SPV) dan Lembaga Pasar Modal Syariah. (Rodoni, 2008: 134)
Menurut Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid (2008: 136) terdapat beberapa aturan umum operasional yang berkaitan dengan obligasi syariah, yaitu:
1.         Pelaksanaan obligasi syariah mulai dari awal sampai akhir harus terhindar dari format dan substansi akad yang berkaitan dengan riba (pembunggaan uang) dan gharar (spekulasi murni atau terdapat unsur judi).
2.         Transaksi obligasi syariah harus berdasarkan konsep muamalah yang sejalan dengan syariah, seperti akad kemitraan (musyarakah, mudharabah) dan jual beli (murabahah, salam istsihna, jual beli jasa atau ijarah). Dengan demikian sertifikat sukuk bukanlah surat utang tatapi surat investasi, karena terkait dengan pembiayaan riil. Berdasarkan akad-akad tersebut, aset sukuk dapat berupa tanah yang akan digangun, pelabuhan darat dan laut, dam, rumah sakit, jalan raya, bangunan, proyek-proyek pembangunan, mesin, real estate, kendaraan, perkebunan, jasa dan hak bernilai aset.
3.         Bagi hasil pada akad kemitraan, fee pada akad ijarah dan harga (modal dan margin) pada akad jual beli harus ditentukan secara jelas pada awal transaksi (prospectus atau sertifikat).
4.         Usaha yang dilakukan emiten (originator) berhubungan dengan dana sukuk yang dikelolah harus terhindar dari semua unsur-unsur non halal.
5.         Pemberian pendapatan dapat dilakukan secara periodik (sesuai karakter masing-masing akad).
6.         Tidak semua sertifikat sukuk dapat diperjualbelikan dan tidak semua pendapatan dapat bersifat mengambang (flooting) atau indikatif.
7.         Pengawasan terhadap pelaksanaan dilaksanakan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) dari aspek syariah, dan oleh wali amanat atau SPV dari segi operasional lapangan khususnya terhadap usaha emiten.
8.     Apabila emiten melakukan kelalaian atau melanggar syarat perjanjian, maka dilakukan pengembalian dana investor dan dibuat surat pengakuan utang.
9.      Jasa asuransi syariah dapat digunakan untuk sebagai alat perlindungan risiko aset rusak.
Landasan Hukum Obligasi Syariah
Fatwa tentang obligasi syariah dituangkan dalam Surat Keputusan DSN MUI Nomor: 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah. Landasan hukum obligasi syariah adalah sebagai berikut:
1.      Al-Quran Surah Al-Ma’idah (5): 1
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu......” (QS. Al-Ma’idah (5): 1)
2.      Al-Quran Surat Al-Isra’(17): 34
“... dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’(17): 34)
3.      Al-Quran Surat Al-Baqarah (2): 275
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah (2): 275)
4.      Hadist Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi s.a.w. bersabda:
“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

Jenis-jenis Akad Dalam Obligasi Syariah
Menurut Taufik Hidayat (2011: 114-115), berdasarkan jenis akad yang dipakai obligasi syariah dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
Obligasi Syariah Mudharabah
Obligasi syariah mudharabah adalah surat berharga yang berisi akad mudharabah dimana pemilik modal menyerahkan modalnya untuk dikelolah oleh pengusaha. Pengelolaan bisnis sepenuhnya akan dilakukan oleh mudharib dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Dengan menerbitkan obligasi syariah mudharabah, penerbit wajib memberikan pendapatan berupa bagi hasil dari pengelolaan dana kepada pemilik dana dan membayar kembali dana  pokok pada saat jatuh tempo.
Obligasi Syariah Murabahah 
Obligai syariah mudarabah adalah surat berharga yang berisi akad murabahah dimana keduanya bersepakat soal harga perolehan dan keuntungan (margin). Penjual membeli barang dari pihak lain dan menjualnya kepada pembeli dengan memberitahu harga pembelian dan keuntungan yang ingin diperoleh dari penjulan barang tersebut. Penerbit wajib memberikan pendapatan berupa bagi hasil dari margin keuntungan kepada pemilik dana dan membayar kembali dana pokok pada saat jatuh tempo.
Obligasi Syariah Musyarakah
Obligasi Syariah Musyarakah adalah surat berharga yang berisi akad musyarakah. Musyarakah adalah kerjasama atau kemitraan dimana dua orang atau lebih bersepakat untuk menggabungkan modal atau kerja dan terlibat dalam pengelolaan usaha tersebut. Pemodal dalam musyarkah ikut aktif dalam pengelolaan keuangan dan manajerial. Penerbit obligasi wajib memberikan pendapatan berupa bagi hasil pengelolaan dana milik pihak-pihak yang berakad kepada pemilik dana dan membayar kembali dana pokok pada saat jatuh tempo. 
Obligasi Syariah Salam 
Obligasi Syariah Salam adalah surat berharga yang berisi akad  salam. Penerbit obligasi wajib memberikan pendapatan berupa bagi hasil dari margin keuntungan kepada pemilik dana dan membayar kembali dana pokok pasa saat jatuh tempo.
Obligasi Syariah Istishna’
Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan criteria dan persyaratan yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’). Dengan begitu, penerbit obligasi wajib memberikan pendapatan berupa bagi hasil dari margin keuntungan kepada pemilik dana dan membayar kembali dana pokok pada saat jatuh tempo.  
Obligasi Syariah Ijarah 
Ijarah sendirri merupakan akad sewa menyewa dimana terjadi pemindahan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa tanpa disertai dengan pemindahan hak kepemilikan. Penerbit wajib memberikan pendapatan berupa fee hasil penyewaan aset kepada pemilik dana dan membayar kembali dana pokok pada saat jatuh tempo. 
              Dari beberapa jenis obligasi syariah tersebut, berdasarkan Fatwa DSN MUI tentang obligasi syariah, akad yang baru digunakan dalam  transaksi obligasi syariah ada dua yaitu  akad Mudharabah dengan Nomor Fatwa: 33/DSN-MUI/IX/2002 dan akad ijarah dengan Nomor Fatwa: 41/DSN-MUI/III/2004. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar